Di tengah hiruk pikuk masyarakat perkotaan yang kerap berorientasi pada pekerjaan formal dengan gaji tetap, profesi perias jenazah hadir sebagai fenomena unik. Kelangkaannya justru mengangkatnya menjadi sebuah calling, sebuah panggilan hati yang melampaui sekadar materi. Profesi ini menuntut dedikasi, kemanusiaan, dan keberanian luar biasa dalam menghadapi kematian secara langsung.
Sosiolog Rakhmat Hidayat dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjelaskan bahwa semakin sebuah pekerjaan langka atau tidak menarik bagi banyak orang, ia cenderung menjadi sebuah panggilan. “Semakin suatu pekerjaan langka, jarang digeluti, atau tidak menarik bagi sebagian besar orang, maka pekerjaan itu cenderung menjadi panggilan, atau calling,” ujar Rakhmat. Menurutnya, perias jenazah merupakan antitesis dari orientasi masyarakat perkotaan yang mengejar pekerjaan komersial dan stabil. Mereka justru berhadapan dengan kematian, sesuatu yang masih distigmakan oleh sebagian besar orang.
“Kematian bukan sesuatu yang menyeramkan bagi mereka. Kematian adalah dunia mereka, sesuatu yang mereka hadapi setiap hari secara sosial,” tutur Rakhmat. Dalam perspektif sosiologi pekerjaan, profesi ini masuk kategori kerja yang tidak tercatat dan tidak terstandar, seringkali menyebabkan pelakunya mengalami marginalisasi dan stigma sosial. “Mereka bekerja dengan hati. Mereka tidak money oriented. Namun secara materi, sering justru tidak mendapatkan kompensasi yang layak,” tambah Rakhmat.
Gloria, Sang Perias Jenazah Penuh Dedikasi
Salah satu perias jenazah yang menekuni profesi ini di Jakarta adalah Gloria Elsa Hutasoit (42). Dalam sehari, ia bisa menangani satu hingga tiga jenazah, tergantung kebutuhan, bahkan menerima panggilan di luar kota.
“Dalam sehari bisa satu sampai tiga jenazah. Tapi ada hari-hari di mana saya tidak merias sama sekali,” ujar Gloria. Kecintaannya pada makeup sejak kecil, yang didukung oleh ibunya yang seorang perawat dan terlibat dalam pelayanan jenazah di gereja, membawanya pada profesi ini.
Titik baliknya terjadi pada tahun 2001 ketika merias tante yang meninggal. “Di situ saya tergerak. Saya ingin memberikan pelayanan agar pengantin Tuhan dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” kenang Gloria. Sejak itu, ia mulai menekuni profesi ini, awalnya terbatas di lingkungan keluarga dan gereja, sebelum akhirnya menjalaninya secara profesional pada 2016.
Gloria menganggap profesinya bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk pelayanan kemanusiaan. Meski awalnya ada rasa tertentu saat menyentuh jenazah, ia mengaku tidak merasakan takut, melainkan kebahagiaan. “Yang saya rasakan justru bahagia bisa menolong, terutama jenazah yang tidak mampu,” tuturnya.
Tantangan Teknis Merias Jenazah
Proses merias jenazah memiliki tantangan teknis yang berbeda dari merias orang hidup. Struktur kulit jenazah yang cenderung keras dan kering membuat prosesnya seperti merias di atas kaca.
“Struktur kulit jenazah cenderung keras dan kering. Meriasnya seperti merias di atas kaca,” jelas Gloria. Tantangan terbesar muncul ketika jenazah mengalami perubahan warna, luka, atau lebam. “Paling menantang ketika harus menutup luka, lebam, atau ketika kulit menghitam dan menguning,” katanya.
Dalam kasus tertentu, Gloria bahkan harus melakukan rebuilding atau membentuk kembali bagian wajah atau tubuh yang rusak akibat kecelakaan atau penyakit. “Paling lama itu ketika harus menutup luka jahitan atau membentuk organ yang rusak,” lanjutnya. Kemampuan teknis ini menempatkan perias jenazah pada posisi penting dalam proses perpisahan terakhir keluarga.
Menjaga Batas Emosi di Tengah Suasana Duka
Setiap keluarga datang dengan kondisi emosional yang berbeda. Bagi Gloria, menjaga batas emosional adalah kunci agar tetap fokus bekerja.
“Sudah terlatih untuk boleh simpati tapi tidak boleh empati. Karena kalau ikut tenggelam dalam kesedihan, kami tidak bisa bekerja,” jelasnya. Namun, momen ketika merias orang yang meninggal mendadak seringkali meninggalkan kesan emosional yang kuat.
“Keluarga biasanya lebih terpukul. Di situ terasa sekali makna emosionalnya,” katanya. Gloria juga aktif membagikan kisahnya melalui akun Instagram pribadinya, @periasjenazah.gloriaelsa, untuk mengedukasi publik bahwa pekerjaannya bukanlah hal tabu.
Pengalaman Pengguna Jasa Perias Jenazah
Cristiene Maria (38), warga Jakarta Barat, menggunakan jasa perias jenazah ketika ibunya meninggal mendadak. Keputusan ini didasari keinginan untuk memberikan penghormatan terakhir yang layak.
“Kami ingin wajah Ibu terlihat rapi dan terawat. Mereka menutup pucat dan lebam dengan riasan tipis, sangat natural,” ujar Cristiene. Komunikasi dengan perias berjalan baik, bahkan keluarga memberikan foto almarhumah sebagai acuan.
Dengan biaya sekitar Rp 1,5 juta, Cristiene merasa lega melihat ibunya terlihat damai. “Rasanya lega ketika melihat Ibu terlihat damai, seperti tidur. Itu membantu kami menerima kepergiannya,” ucapnya. Ia menilai profesi ini layak dihargai lebih tinggi. “Mereka sangat sabar dan berhati-hati. Rasanya mereka memberi keindahan terakhir bagi orang yang kita cintai,” ujarnya.
Transformasi Budaya Kematian yang Tertunda
Meskipun semakin banyak keluarga kelas menengah ke atas menggunakan jasa perias jenazah profesional, Rakhmat menilai belum terjadi transformasi besar dalam budaya kematian di Indonesia.
“Belum ada perubahan mayor. Kematian masih dianggap hal misterius dan menyeramkan, terutama di kelas menengah ke bawah,” ujar Rakhmat. Ia mencontohkan bagaimana pemakaman di luar negeri yang tertata rapi dan berada di tengah kota, kontras dengan pemakaman di Indonesia yang kerap dianggap ruang gelap dan tidak terurus.
Pengalaman pandemi Covid-19 justru menyoroti betapa pentingnya profesi perias dan pengurus jenazah. Di saat angka kematian melonjak, negara-negara sangat bergantung pada mereka yang berani berada di garis depan urusan kematian.
“Mereka bekerja melampaui batas risiko, penyakit, batas geografis, dan latar belakang etnis,” tutur Rakhmat. Ia melihat profesi ini sebagai pekerjaan kemanusiaan yang melampaui batas profesi resmi, namun seringkali dipandang rendah dan tidak dipahami.
“Kita belum memiliki standar profesi untuk perias jenazah. Mereka tidak mendapatkan perlindungan formal seperti pekerja formal lainnya,” kata Rakhmat. Ia menegaskan bahwa profesi ini harus dilihat sebagai sebuah panggilan kemanusiaan. “Bayangkan jika tidak ada orang yang mau menggeluti pekerjaan ini, maka banyak jenazah yang telantar. Ini pekerjaan sangat berarti secara sosial,” ujarnya.






