Pelaksanaan Konferensi Daerah (Konferda) dan Konferensi Cabang (Konfercab) PDI Perjuangan (PDIP) yang digelar serentak di 38 kabupaten dan kota di Jawa Timur (Jatim) bukan sekadar agenda rutin. Pengamat menilai langkah ini sebagai pesan politik kuat tentang soliditas, disiplin, serta kesiapan partai menghadapi lanskap politik nasional yang dinamis.
Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, menyoroti konsolidasi serentak tersebut sebagai penegasan kontrol struktural dan kesatuan gerak organisasi dari pusat hingga daerah. Menurut Surokim, dalam perspektif komunikasi politik, PDIP ingin memastikan seluruh struktur partai bergerak dalam satu ritme, frekuensi, dan garis ideologis yang sama.
“Konferda dan Konfercab serentak ini adalah pesan bahwa PDIP bukan partai yang berjalan sendiri-sendiri di daerah. Ini satu organisasi yang terhubung secara struktural dan ideologis, dengan disiplin dan ketertiban sebagai fondasi utama,” ujar Surokim dalam keterangan tertulis, Rabu (17/12/2025).
Surokim menambahkan, penekanan pada disiplin organisasi dan soliditas tegak lurus menjadi relevan di tengah situasi politik nasional yang ditandai perubahan cepat, fragmentasi preferensi pemilih, serta kompetisi antarpartai yang meningkat. Partai politik tanpa konsolidasi internal yang kuat berisiko kehilangan arah dan daya tahan politiknya.
Konsolidasi serentak ini juga dinilai sebagai bentuk kesiapsiagaan PDIP menghadapi tantangan eksternal yang kompleks. Tantangan tersebut meliputi dinamika elektoral, perubahan perilaku pemilih yang semakin rasional, hingga penetrasi politik digital yang mengubah cara partai berkomunikasi dengan publik.
Terkait dinamika internal, Surokim mengakui konferensi serentak berpotensi memunculkan tarik-menarik kepentingan antarkader, khususnya terkait regenerasi dan pengisian posisi strategis di daerah. Namun, ia menegaskan dinamika tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan organisasi politik yang besar dan matang.
“Di sinilah ujian kedewasaan partai. Konflik kepentingan dalam perebutan jabatan adalah hal yang wajar,” jelas Surokim. Ia melanjutkan, “Yang menjadi pembeda adalah bagaimana konflik itu dikelola melalui mekanisme organisasi yang tertib dan diterima sebagai keputusan bersama.”
Struktur komando yang kuat serta budaya organisasi yang menekankan kepatuhan terhadap keputusan kolektif menjadi instrumen penting untuk meminimalkan gesekan di tingkat bawah. Kesadaran kader akan pentingnya kepentingan partai di atas kepentingan personal dinilai mampu menjaga stabilitas internal sekaligus memperkuat soliditas jangka panjang.
Surokim juga menyoroti peran Konfercab sebagai ruang demokrasi internal yang substantif. Menurutnya, demokrasi internal tidak selalu identik dengan pemilihan langsung atau kontestasi terbuka, tetapi tercermin dari keterbukaan proses, akuntabilitas pengambilan keputusan, serta kesediaan kader untuk menerima hasil dengan sikap legowo.
“Demokrasi internal yang sehat justru terlihat dari kesediaan kader menghargai proses dan menerima keputusan organisasi. Itu jauh lebih bermakna daripada sekadar kontes jabatan,” ujar Surokim.
Dalam konteks Jawa Timur yang dikenal memiliki karakter politik majemuk dan inklusif, Surokim menilai PDIP tetap memerlukan satu narasi ideologis besar sebagai identitas partai. Namun, ia menekankan cara penyampaian narasi tersebut harus kontekstual dan sensitif terhadap keragaman sosial, budaya, serta kebutuhan masyarakat di daerah.
“Pendekatan komunikasi politik harus empatik dan membumi. Narasi ideologi tidak cukup disampaikan secara normatif, tetapi harus hadir dalam bahasa yang dipahami publik dan diterjemahkan dalam tindakan nyata,” kata Surokim.
Sementara itu, Pengamat Politik Universitas Airlangga (UNAIR) Airlangga Pribadi melihat Konferda dan Konfercab serentak ini sebagai sinyal PDIP tengah memasuki fase konsolidasi serta perjuangan politik baru. Menurut Airlangga, agenda serentak ini mencerminkan upaya partai untuk menegaskan kembali politik berbasis ideologi di tengah menguatnya pragmatisme politik dan praktik politik jangka pendek.
“PDIP sedang membangun antitesis terhadap politik uang dan politik tanpa keberpihakan yang nyata. Konsolidasi ini menunjukkan bahwa partai ingin meneguhkan kembali politik ideologis yang adaptif terhadap perubahan zaman,” ujar Airlangga.
Airlangga menambahkan, pembumian ajaran Bung Karno sebagai fondasi ideologi partai menjadi semakin relevan di tengah transformasi sosial dan teknologi yang memengaruhi preferensi pemilih, terutama generasi muda dan generasi Z (Gen Z). Tantangan ke depan adalah bagaimana ideologi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa, medium, dan program yang mampu menjangkau kelompok pemilih baru tanpa kehilangan substansi.
Ia juga menekankan pentingnya kesinambungan kepemimpinan yang berjalan seiring dengan regenerasi kader. Kesinambungan mencerminkan stabilitas ideologis dan organisasi, sementara regenerasi membuka ruang bagi kader-kader baru untuk berkontribusi dan memperluas daya jangkau politik partai.
“Kepemimpinan yang teruji secara ideologis, berintegritas, dan dekat dengan persoalan rakyat menjadi kunci navigasi partai dalam menghadapi perubahan zaman,” kata Airlangga.
Kedua pengamat sepakat bahwa tantangan terbesar PDIP ke depan bukan semata persaingan antarpartai, melainkan perubahan perilaku pemilih yang semakin rasional dan cair. Pemilih kini cenderung menilai kinerja, keberpihakan kebijakan, serta manfaat konkret yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks tersebut, konsistensi antara nilai ideologis, program kerja, dan kinerja nyata dinilai menjadi faktor penentu daya saing partai. Dengan budaya organisasi yang tertib, disiplin tinggi, serta kemampuan beradaptasi terhadap perubahan sosial dan politik, PDIP dinilai memiliki modal kuat untuk menjaga soliditas internal sekaligus meneguhkan perannya sebagai partai ideologis yang tetap relevan dan berkelanjutan di tengah tantangan masa depan.






