Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) merespons keras kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait pernyataan Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, mengenai penyebab bencana banjir dan longsor. Pemprov Sumbar menegaskan bahwa pernyataan gubernur telah sesuai dengan kewenangan masing-masing lembaga.
Klarifikasi Pemprov Sumbar
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, Ferdinal Asmin, menjelaskan bahwa pernyataan Gubernur Mahyeldi tidak perlu dipersoalkan oleh Walhi. Menurutnya, Gubernur hanya menyampaikan saran perbaikan tata kelola hutan dengan mencontohkan pemanfaatan kayu tumbuh alami pada lahan masyarakat yang belum optimal melibatkan daerah.
“Wajar saja Pak Gub mengusulkan itu, karena semua yang berkaitan dengan perizinan kehutanan memang adalah kewenangan pusat,” ujar Ferdinal saat dihubungi, Minggu (14/12/2025).
Ferdinal juga menanggapi rekomendasi Pemprov Sumbar terkait izin operasi perusahaan di kawasan hutan. Ia menyatakan bahwa perusahaan yang dimaksud masih dalam proses perizinan dan belum beroperasi. Salah satu rencana izin di Solok Selatan bahkan disebut untuk kegiatan restorasi ekosistem, sejalan dengan arahan perizinan berusaha kehutanan yang kini diarahkan pada usaha multiguna, bukan hanya kayu.
“Karena memang, saat ini, perizinan berusaha kehutanan diarahkan kepada usaha multiguna, tidak melulu kayu,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ferdinal membantah adanya pencaplokan wilayah perhutanan sosial di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu alam. Ia mengklaim bahwa sejak lima tahun terakhir tidak ada pertambahan wilayah izin untuk korporasi di Sumbar. Sebaliknya, wilayah kelola masyarakat melalui Perhutanan Sosial justru bertambah dua kali lipat dari wilayah kelola korporasi.
“Bahkan dalam transformasi kebijakan kehutanan nasional, diarahkan agar izin usaha juga mempertimbangkan penyediaan lahan kelola bagi masyarakat sekitar,” jelasnya.
Ferdinal membenarkan adanya izin tambang di kawasan hutan Sumbar, namun pihaknya bersama pemerintah pusat sedang berupaya menangani tambang liar. Ia menambahkan bahwa laju deforestasi di Sumbar tergolong kecil, dan sebagian besar disebabkan oleh kebutuhan fasilitas sosial, umum, serta kebutuhan masyarakat.
Kritik Walhi
Kritik Walhi muncul setelah Mahyeldi menyatakan pandangannya mengenai pemberian izin hak atas tanah oleh Kementerian Kehutanan dalam sebuah dialog televisi. Walhi meminta Mahyeldi untuk tidak melempar tanggung jawab.
“Dalam catatan Walhi Sumatera Barat, Gubernur Sumatera Barat dan Menteri Kehutanan adalah state aktor utama yang bertanggung jawab atas bencana ekologis di Sumatera Barat. Jangan berebut cuci tangan di tengah gagalnya pemerintah daerah dan pusat, kini pranata kehidupan masyarakat hancur akibat bencana ekologis,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Minggu (14/12/2025).
Wengki mengingatkan Mahyeldi mengenai kebijakannya selama menjabat Gubernur Sumbar, menilai gubernur gagal menjaga hutan. Ia menuding Mahyeldi memberikan rekomendasi agar hutan di Sumbar dibabat atas nama investasi.
“Bukankah, Gubernur Sumatera Barat memberikan rekomendasi agar Hutan Sumatera Barat, kayu-kayunya dibabat atas nama investasi! Jangan sembunyi. Bukankah? Gubernur Sumatera Barat juga gagal menjaga hutan yang menjadi kewenangannya, sehingga hutan dan daerah aliran sungai hancur akibat tambang ilegal. Bukankah Pemerintah Sumatera Barat juga terlibat memberikan izin tambang di kawasan rawan bencana? Ayo jadilah berani dan tunjukkan tanggung-jawab,” seru Wengki.
Wengki merinci, pada Februari 2021, Mahyeldi merekomendasikan kepada Menteri LHK soal kawasan hutan seluas ± 43.591 hektare di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu alam. Hutan tersebut, menurutnya, juga mencakup 6 izin perhutanan sosial yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
Walhi juga mencatat bahwa selama 1990-2014, seluas ±158.831,4 hektare hutan di Sumbar telah diberikan untuk 29 perusahaan besar perkebunan, yang sebagian besar telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Belakangan terbukti, sebagian dari perusahaan tersebut telah mengubah hutan untuk kebun sawit secara melawan hukum atau ilegal. Pemerintah daerah terlibat dalam prosesnya. Jangan mengelak. Selain menimbulkan derita bagi masyarakat, karena hak-haknya tidak direalisasikan sesuai kesepakatan pembangunan kebun dan hidup dalam konflik berkepanjangan. Kini akibat krisis ekologis yang menumpuk, bencana sosial-ekologis terus berulang,” urai Wengki.
Walhi juga mencatat hingga 2020, setidaknya hutan di Sumbar seluas ±183.705 hektare dibebani izin untuk eksploitasi kayu alam, seluas 65.432,90 hektare untuk hutan tanaman industri, dan 1.456,54 hektare untuk aktivitas tambang. Kerusakan akibat tambang emas ilegal di empat kabupaten saja sudah menyentuh angka 7.662 hektare.
Wengki menambahkan, saat kerusakan tersebut belum dihentikan, Gubernur Sumbar disebut telah mengusulkan lahan seluas 17.700 hektare sebagai wilayah pertambangan di 10 kabupaten di Sumbar. Ia mengkritik kebijakan tersebut sebagai perluasan skala eksploitasi, bukan pemulihan krisis.






