Pemerintah memastikan akan memberlakukan pungutan bea keluar untuk ekspor batu bara mulai Januari 2026. Kebijakan ini ditargetkan mampu menyumbang penerimaan negara sekitar Rp 20 triliun pada tahun pertama implementasinya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini tengah merampungkan aturan teknis berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan mengatur rincian besaran tarif bea keluar tersebut. Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menargetkan PMK tersebut dapat terbit sebelum akhir tahun 2025.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
“Kita sedang siapkan (PMK), sesuai hasil dengan DPR juga kemarin arahannya demikian,” tegas Febrio usai Konferensi Pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada Kamis (18/12/2025).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah mengonfirmasi bahwa pengenaan bea keluar batu bara akan berlaku serentak dengan bea keluar emas pada Januari 2026. “Tapi (BK batu bara) Januari langsung berlaku,” kata Purbaya di Istana Negara, Jakarta, Senin malam (15/12/2025).
Purbaya menjelaskan, tarif bea keluar batu bara akan dikenakan sekitar 1% hingga 5%. Menurutnya, pemberlakuan kembali bea keluar ini akan memperkuat sisi penerimaan negara, mengingat sebelumnya pemerintah dinilai memberikan subsidi kepada pengusaha batu bara setelah bea keluarnya dihapuskan oleh Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kita targetnya kan clear, berapa triliun harus dicapai, kira-kira gitu. Jadi kita balik ke status yang awal, jangan sampai kita memang subsidi industri batu bara,” ujar Purbaya.
Reaksi Pelaku Usaha Pertambangan
Rencana pemerintah ini mendapat tanggapan dari pelaku usaha pertambangan batu bara. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) melalui Plt. Direktur Eksekutif Gita Mahyarani, menilai kebijakan tersebut berpotensi memberikan manfaat bagi kas negara, namun juga membawa konsekuensi bagi kelangsungan industri.
Gita memahami kebijakan ini sebagai strategi pemerintah untuk mengamankan penerimaan negara di tengah kebutuhan anggaran yang besar. Meski demikian, ia menekankan pentingnya pemerintah untuk mempertimbangkan kondisi riil yang dihadapi para pelaku usaha tambang.
“Pada prinsipnya, setiap kebijakan fiskal tentu memiliki potensi manfaat sekaligus konsekuensi. Rencana penerapan bea keluar batu bara pada Januari 2026 dapat dipahami sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menjaga penerimaan negara, terutama di tengah kebutuhan fiskal yang cukup besar,” ungkap Gita kepada CNBC Indonesia, Rabu (31/12/2025).
Sepanjang tahun 2025, industri batu bara menghadapi tekanan berat, termasuk tren harga yang cenderung menurun, fluktuasi permintaan pasar global yang tidak menentu, serta membengkaknya biaya operasional akibat kepatuhan terhadap berbagai regulasi baru. Kondisi ini telah mendorong perusahaan melakukan efisiensi.
“Dalam konteks tersebut, implementasi bea keluar tentu memiliki potensi tantangan, khususnya terhadap margin usaha, daya saing ekspor, serta keberlanjutan operasi, terutama bagi perusahaan dengan struktur biaya yang relatif ketat,” tambah Gita.
APBI berharap aspek teknis kebijakan ini diperhatikan agar aturan yang diterapkan tidak memukul rata dan membebani perusahaan dengan margin keuangan yang sudah tipis.
Senada, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) juga menyatakan akan memperhitungkan dampak regulasi ini terhadap kondisi finansial dan operasional perusahaan. P.H. Corporate Secretary Division Head PTBA, Eko Prayitno, mengungkapkan bahwa pihaknya memahami tujuan strategis pemerintah.
“PTBA memahami bahwa setiap kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Pemerintah, termasuk potensi penerapan bea keluar untuk komoditas ekspor seperti batu bara, merupakan bagian dari upaya holistik Pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dan memastikan nilai tambah optimal dari sumber daya alam,” ungkap Eko.
Terkait dampak langsung terhadap keuangan perusahaan, Eko belum bisa memastikan angka pastinya. Ia menyebut, perhitungan untung rugi sangat bergantung pada teknis regulasi yang masih digodok, terutama besaran tarif yang akan dikenakan.
“Jika bea keluar batu bara diterapkan, dampaknya pada industri, produksi, dan operasional akan bergantung pada besaran tarif, mekanisme penghitungan, dan ambang batas harga yang ditetapkan,” terangnya.
Eko menambahkan, PTBA akan terus memantau perkembangan aturan ini sambil menyiapkan strategi mitigasi risiko. Hal ini bertujuan agar kinerja operasional dan keuangan PTBA tetap terjaga dan berkelanjutan, meskipun nantinya ada beban pungutan baru.
“Tentunya PTBA akan terus memonitor perkembangan regulasi ini, mengelola risiko secara terukur, dan berkomitmen untuk menjaga kinerja operasional dan keuangan yang berkelanjutan, serta memberikan kontribusi kepada penerimaan negara,” tandasnya.





