Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk membubarkan Komisi Reformasi Polri. PBHI mempertanyakan kontribusi nyata komisi tersebut terhadap perbaikan sistemik dan struktural di tubuh Polri.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan yang diterima pada Jumat (19/12/2025), menyatakan bahwa sejak awal PBHI telah melihat potensi politisasi dalam pembentukan komisi ini. “Sejak awal, PBHI telah menegaskan adanya potensi politisasi, gimmick belaka, bahkan hanya menciptakan keributan lewat konten viral di media sosial. Bagaimana perdebatan soal nama (delegasi) anggota Komisi Reformasi Polri justru lebih ramai dan mendahului gagasan dan fungsi komisi,” kata Julius.
Julius menegaskan bahwa forum reformasi Polri yang fundamental seharusnya tetap berada pada jalur konstitusional. “Sehingga PBHI menegaskan agar forum reformasi Polri yang begitu fundamental tetap berada pada jalur konstitusional, yakni proses legislasi antara Presiden dan DPR RI, tentu berkonsultasi dengan MPR RI selaku pembentuk UUD Negara RI Tahun 1945 yang memandatkan fungsi dan tugas Kemanan dan Ketertiban pada institusi Polri melalui Pasal 30,” imbuhnya.
Kritik atas Kinerja Komisi Reformasi Polri
Menurut Julius, Komisi Reformasi Polri diharapkan dapat menjawab persoalan sistemik dan struktural di Polri dengan basis dan linimasa yang jelas. Namun, faktanya, komisi ini dinilai bergerak lambat dan minim kontribusi.
“Faktanya, Komisi Reformasi Polri justru bergerak sangat lambat, minus kontribusi, bahkan justru memproduksi komentar sesat soal Putusan MK No. 114 terkait penempatan Anggota Polri pada institusi di luar Kepolisian,” ujar Julius. Ia menekankan pentingnya pemahaman yang benar terhadap putusan tersebut.
Julius menjelaskan, Putusan MK No. 114 menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ pada Bagian Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Polri dinyatakan inkonstitusional. Pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi juga merujuk pada Pasal 13 dan Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN terkait jabatan.
Tafsir Putusan MK No. 114 dan Implikasinya
PBHI meminta Presiden Prabowo memerintahkan Komisi Reformasi Polri untuk berpegang teguh pada UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5). Pasal-pasal ini mengatur kebutuhan pengaturan lebih konkret dan detail mengenai fungsi Keamanan dan Ketertiban yang diemban Polri, termasuk kaitannya dengan institusi negara lain (Kementerian/Lembaga/Badan/Komisi Negara), dengan pertimbangan kapasitas dan kompetensi Anggota Polri.
“Putusan MK No. 114 memang tidak menafsirkan secara konstitusional institusi dan jabatan apa yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, melainkan hanya merujuk pada lingkup jabatan di Pasal 13 dan Pasal 18 UU ASN, dan basis serta mekanisme teknisnya yang telah diatur oleh Pasal 19 ayat (3) UU ASN, dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP 11/2017),” jelas Julius.
Ia melanjutkan, Pasal 19 Ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari TNI dan Polri, dengan ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan dan tata cara pengisian akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara itu, Pasal 19 Ayat (3) mengatur pengisian jabatan ASN tertentu oleh prajurit TNI dan anggota Polri pada instansi pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang masing-masing.
Julius juga menyinggung Pasal 147 PP Nomor 11 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi, tugas pokok, dan fungsi, serta persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 148 menambahkan bahwa Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Polri yang berada pada Instansi Pusat dan sesuai dengan undang-undang mengenai TNI dan undang-undang mengenai Polri. Terakhir, Pasal 149 menjelaskan Pangkat Prajurit TNI dan pangkat Anggota Polri untuk menduduki Jabatan ASN pada Instansi Pusat ditetapkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Menteri PANRB terkait penetapan pangkat.
“Singkatnya, Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni pada institusi yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri tanpa perlu mengundurkan diri atau pensiun dari Polri, dengan persetujuan dari Menteri PANRB terkait kepangkatan. Tanpa ada tafsir dan penyebutan konkret serta detil mengenai institusi apa saja yang dimaksud sebagai ‘di luar Kepolisian’,” tutur Julius.
Komentar Jimly dan Mahfud Md Dinilai Menyesatkan
PBHI juga menyoroti pernyataan pimpinan Komisi Reformasi Kepolisian, Jimly Asshiddiqie dan Mahfud Md, terkait putusan MK soal jabatan anggota Polri di luar institusi. “Pernyataan Prof Jimly dan Prof Mahfud Md yang menyatakan bahwa Putusan MK No. 114 melarang total penempatan jabatan sipil di luar kepolisian oleh Anggota Polri dan harus ada penarikan mundur 4 ribuan Anggota Polri yang berada di institusi selain Polri secara mutatis mutandis, jelas adalah sebuah penyesatan publik,” tegas Julius.
Menurutnya, Komisi Reformasi Polri seharusnya mencari solusi dan memperbaiki sistem, bukan justru menimbulkan masalah baru. “Komisi Reformasi Polri yang seharusnya mencari solusi dan memperbaiki sistem serta struktur Polri yang dianggap sebagai akar masalah, justru menimbulkan masalah sendiri dalam komentarnya, bahkan menjadi sumber masalah dalam agenda reformasi Polri itu sendiri,” katanya.
Julius menambahkan, “Perlunya ada tafsir dan definisi konkret serta detil mengenai institusi di luar Kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, adalah PR terbesar dan sangat fundamental untuk diselesaikan. Hegemoni dwifungsi ABRI yang lahir kembali dan menjadi momok dalam perluasan jabatan Anggota TNI di ranah sipil via UU No. 3/2025 tentang Revisi UU TNI, tentu tidak dapat dijadikan rujukan sebagaimana komentar prof. Mahfud MD. Begitu juga ketiadaan konsiderans berupa ‘Putusan MK No. 114’ pada Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 10/2025 tidak dapat dijadikan dalil oleh Prof Jimly pada situasi ini.”
Dorong Tafsir Konstitusional Melalui Legislasi
Julius menilai lambannya kerja Komisi Reformasi Polri dan komentar yang menyesatkan publik tidak mendorong langkah konstitusional Presiden Prabowo untuk memperbaiki institusi Polri. “Lahirnya Putusan MK No. 114 tanpa tafsir dan penyebutan institusi apa yang dimaksud di luar Kepolisian, harusnya menjadi momentum baik dan besar bagi Komisi Reformasi Polri untuk meminta Presiden Prabowo mengambil langkah konstitusional, mengikuti alur logika berfikir Pasal 30 UUD Negara RI Tahun 1945,” sebutnya.
PBHI berharap Pemerintah, DPR, dan MK dapat menyusun tafsir terkait institusi yang memiliki keterkaitan dengan tugas Polri. “Dengan mengundang DPR RI dan MPR RI serta MK untuk menyusun tafsir konstitusional terkait fungsi Polri dan institusi di luar Polri yang ada sangkut pautnya dengan fungsi tersebut. Tentu dengan mengkonfirmasi Menteri PANRB dalam menentukan kebutuhan kapasitas dan kompetensi apa dari Anggota Polri. Hingga kemudian dapat ditentukan institusi dan jabatan apa yang tepat untuk diatur lebih lanjut oleh UU Polri sebagaimana dimaksud oleh UU ASN dan PP 11/2017,” jelas Julius.
Ia juga menyoroti minimnya inisiatif dari pihak lain. “Lambannya, Komisi Reformasi Polri dan Presiden Prabowo, serta minimnya inisiatif dari DPR RI meski telah membentuk Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung, tentu menjadi satu celah besar dari segi linimasa yang harus direspons oleh Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo, yang menghadapi situasi di mana 4 ribuan anggotanya sedang bertugas di institusi non-Kepolisian,” ucapnya.
Julius menambahkan, alur legislasi dalam menafsirkan institusi dan jabatan di luar kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan Polri seharusnya direspons cepat oleh Komisi Reformasi Polri sejak pemeriksaan Perkara No. 114/PUU-XXIII/2025 berlangsung dan seketika sejak diputus MK. “Akan tetapi, gelagat untuk bergerak cepat dan tepat itu tidak terlihat, justru muncul wacana politisasi lewat usulan Prof Yusril terkait pembentukan Kementerian Keamanan sebagai institusi baru yang membawahi Polri dan beberapa institusi yang dianggap ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, sebagai replikasi dari Kementerian Pertahanan yang membawahi TNI. Tanpa menjawab pertanyaan utama: mendefinisikan fungsi dan institusi mana yang ada sangkut pautnya dengan Polri,” katanya.
PBHI menilai pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian hanya berujung pada gimik dan meminta agar komisi ini tidak dijadikan ajang show off. “PBHI menegaskan, pembentukan komisi reformasi, tim percepatan atau apapun itu, berdasarkan catatan PBHI hanya berujung pada gimmick dan sarat politisasi kepentingan lain. Publik menuntut agar agenda reformasi Polri sebagai kebutuhan konstitusional masyarakat jangan dijadikan komoditas politik dan show off lewat pemberitaan media,” pungkas Julius.
Oleh karena itu, PBHI menuntut Pemerintah Presiden Prabowo dan DPR RI untuk mendorong tafsir konstitusional mengenai fungsi Keamanan pada Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menuangkannya dalam produk legislasi yang cepat dan tepat, yakni UU Polri. “Meski tidak ada kata terlambat, namun penting juga untuk segara membubarkan Komisi Reformasi Polri yang terlalu bermasalah karena komentar-komentar sesat,” tutupnya.






