Berita

PAN Desak Revisi UU Migas, Ungkit Pasal Dibatalkan MK Sejak 12 Tahun Lalu

Advertisement

Partai Amanat Nasional (PAN) mendesak agar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) segera direvisi secara menyeluruh. Desakan ini mengemuka seiring banyaknya pasal dalam undang-undang tersebut yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Revisi Mendesak Akibat Putusan MK

Anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menyatakan bahwa revisi UU Migas sudah menjadi perintah sejak 12 tahun lalu. “Undang-Undang Migas memang sudah saatnya direvisi, karena banyak pasal yang sudah dibatalkan oleh MK dalam keputusannya, dan ini memang sudah menjadi perintah untuk dilakukan revisinya sejak 12 tahun yang lalu,” kata Eddy kepada wartawan, Jumat (12/12/2025).

Ia merujuk pada putusan MK yang membatalkan keberadaan BP Migas, yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Eddy menilai revisi UU Migas sangat krusial untuk menciptakan regulasi yang dapat mempercepat dan mempermudah investasi di sektor hulu migas.

Mendukung Target Lifting dan Keberlanjutan

Lebih lanjut, Eddy menyoroti pentingnya revisi UU Migas untuk mendukung target lifting minyak mentah sebesar 1 juta barel per hari pada tahun 2030. “Selain itu, juga kita perlukan revisi Undang-Undang Migas agar pengembangan sektor Migas ke depannya itu didasarkan pada platform keberlanjutan,” ujarnya.

Aspek keberlanjutan ini, menurut Eddy, sangat penting untuk memastikan perhatian terhadap masalah lingkungan hidup. “Jadi, secara berkelanjutan ini sangat penting karena kita ingin agar masalah lingkungan hidup itu juga menjadi perhatian,” sambung Eddy.

Kepastian Hukum dan Daya Tarik Investasi

Wakil Ketua MPR ini menambahkan bahwa revisi UU Migas juga merupakan bentuk pelaksanaan putusan MK. Pembentukan badan khusus yang mengelola sektor hulu migas, menggantikan SKK Migas, menjadi salah satu poin penting.

Senada dengan itu, Kapoksi Fraksi PAN di Komisi XII DPR RI, Aqib Ardiansyah, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas merupakan instrumen strategis untuk menjamin kepastian hukum dan daya tarik investasi di sektor migas. Ia menekankan perlunya kepastian kelembagaan, skema kontrak, serta kepastian fiskal dalam RUU Migas.

Advertisement

“Dalam konteks transisi energi, RUU Migas juga akan berperan sebagai jembatan kebijakan. Meskipun bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) terus meningkat, kebutuhan energi nasional juga tumbuh, sehingga volume migas domestik-khususnya gas bumi-tetap dibutuhkan sebagai penopang ketahanan energi dan stabilitas sistem energi nasional,” paparnya.

Aqib berpendapat bahwa dengan produksi migas yang kuat dan dikelola secara berkelanjutan, Indonesia akan memiliki ruang fiskal dan energi yang lebih sehat untuk mempercepat pengembangan EBT tanpa mengorbankan kemandirian dan keamanan energi nasional.

Perjalanan Panjang RUU Migas

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi menjelaskan bahwa RUU Migas telah dibahas di DPR pada periode 2014-2019 dan diserahkan ke pemerintah. Namun, pada Januari 2019, Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Migas yang terbit ke kementerian terkait disebut tidak menyertakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai lampiran.

RUU Migas juga sempat dibahas pada periode 2019-2024. Rancangan beleid ini telah disinkronisasi dan diharmonisasi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI serta diserahkan ke Komisi VII DPR. Namun, pembahasan tidak dilanjutkan ke tingkat Badan Musyawarah (Bamus) untuk diparipurnakan.

“Kami bersiap memulai kembali pembahasan revisi UU Migas untuk segera dirampungkan,” kata Bambang, Jumat (12/12).

Advertisement