Rentetan kecelakaan yang melibatkan bus dan kendaraan besar kembali menyorot aspek keselamatan transportasi massal di Indonesia. Situasi ini mendorong pakar keselamatan berkendara untuk mendesak penerapan sistem pemantauan pengemudi secara komprehensif guna menekan angka insiden.
Pentingnya Manajemen Perjalanan Sopir
Jusri Pulubuhu, Instruktur Keselamatan Berkendara sekaligus Founder Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC), menekankan perlunya sistem yang memantau waktu istirahat sopir bus, baik sebelum maupun selama perjalanan. Ia mencontohkan praktik di Amerika, Australia, dan Inggris.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Harus ada sistem yang bisa memonitor waktu istirahat pengemudi, baik pra-perjalanan maupun saat perjalanan. Ini sudah berlaku di Amerika, Australia, dan Inggris, supaya tidak ada pengemudi yang sudah fatigue atau memiliki masalah mental tapi tetap mengemudi,” kata Jusri, Sabtu (27/12/2025).
Merujuk pada sistem di Australia dan Inggris, manajemen perjalanan tersebut memanfaatkan catatan berbasis digital. Pengemudi diwajibkan mengisi data waktu istirahat sebelum keberangkatan.
“Intinya catatan digital. Pengemudi harus memasukkan waktu istirahat yang dialokasikan oleh perusahaan. Misal tidur jam 10 tadi malam, bangun jam 4 pagi, jam 10 melakukan perjalanan. Kemudian akan di-approve dari manajemen bus atau dispatcher,” jelasnya.
Jusri menambahkan, pemantauan ini juga mencakup pengaturan jam kerja dan istirahat yang terintegrasi, terutama bagi pengemudi malam hari yang memiliki risiko kelelahan lebih tinggi.
“Untuk pengemudi yang mendapat jam kerja malam, harus dipastikan mereka memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidur di siang hari sebelum berangkat,” ujarnya.
Adaptasi Shift dan Standar Operasional
Selain itu, Jusri menyoroti fase idle atau peralihan shift dari siang ke malam hari yang sering diabaikan oleh perusahaan angkutan. Menurutnya, pengemudi memerlukan waktu adaptasi agar kondisi fisik dan mental siap kembali untuk perjalanan jarak jauh.
“Pada peralihan dari kerja siang ke malam hari, idealnya ada satu hari kosong untuk mempersiapkan diri, termasuk istirahat sebelum berganti jam kerja,” terangnya.
Lebih lanjut, Jusri menilai sistem pemantauan pengemudi seharusnya menjadi bagian integral dari standar operasional perusahaan otobus (PO). Ia mendorong agar pengelolaan angkutan penumpang tidak hanya berfokus pada jadwal dan target, tetapi juga pada kesiapan sumber daya manusia.
“Penanganan, pengoperasian, perizinan, hingga persyaratan pengoperasian PO seharusnya bisa meniru industri aviasi. Ada sistem kontrol dan re-sertifikasi yang ketat,” ungkap Jusri.
Penerapan sistem ini juga membutuhkan peran aktif regulator. Pengawasan tidak cukup diserahkan kepada perusahaan semata, melainkan perlu ada standar dan audit berkala dari instansi terkait.
Dengan sistem pemantauan yang konsisten, Jusri meyakini risiko kecelakaan akibat kelelahan pengemudi dapat ditekan. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan jalan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap transportasi massal.






