Berita

MK Perintahkan Pembentuk UU Atur Mekanisme Tarif Royalti Hak Cipta, Jamin Kepastian Hukum

Advertisement

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis, 18 Desember 2025, menegaskan bahwa besaran imbalan atau royalti bagi pemegang hak cipta tidak boleh ditentukan secara sepihak. MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk segera mengatur mekanisme dan tarif royalti yang jelas guna menjamin kepastian hukum.

Putusan ini dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025), mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah musisi terkemuka, termasuk Ariel NOAH, Raisa Andriana, Bunga Citra Lestari, Judika, dan Armand Maulana.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan, “Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’.”

Sebelum putusan MK ini, Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 berbunyi: “Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.”

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam pasal tersebut telah menimbulkan ruang penafsiran dan ketidakpastian hukum. Menurutnya, imbalan yang wajar harus diartikan sebagai royalti yang ditetapkan berdasarkan mekanisme dan tarif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Imbalan atas penggunaan ciptaan yang dimaksud pun tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat untuk dapat mengekspresikan dan menikmati hasil karya ciptaan secara mudah dan terjangkau,” ujar Enny, menekankan pentingnya keseimbangan antara hak pencipta dan akses publik.

MK juga menegaskan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) memiliki peran vital dalam menghimpun dan mendistribusikan royalti. Namun, dalam menjalankan tugasnya, LMK wajib berkoordinasi dan menetapkan besaran royalti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur perihal royalti atau imbalan yang terukur dan proporsional serta tidak memberatkan pengguna ciptaan dan masyarakat pada umumnya,” tegas MK.

Advertisement

Dengan demikian, dalil para Pemohon terkait frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam Pasal 87 ayat (1) UU 28/2014 dinyatakan beralasan menurut hukum dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat, kecuali dimaknai sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

2. Menyatakan frasa ‘setiap orang’ dalam norma pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial’.

3. Menyatakan frasa ‘imbalan yang wajar’ dalam norma Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘imbalan yang wajar, sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan’.

4. Menyatakan frasa huruf f dalam norma Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice’.

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

6. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Advertisement