Tas Siaga Bencana (TSB) kini bukan sekadar perlengkapan darurat biasa, melainkan telah bertransformasi menjadi etika baru bertahan hidup bagi masyarakat Jawa Barat. Konsep ini muncul sebagai respons atas realitas geografis dan iklim yang kian menantang di provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia tersebut.
Terletak di atas patahan aktif, dikelilingi daerah aliran sungai yang rapuh, serta terus tertekan oleh krisis iklim, Jawa Barat memang hidup berdampingan dengan risiko bencana. Memasuki periode 2025–2026, fenomena cuaca ekstrem tidak lagi dianggap sebagai kejadian langka, melainkan telah menjadi bagian dari rutinitas yang sulit diprediksi.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Pergeseran Paradigma: Dari Ketergantungan Menuju Kesiapsiagaan Mandiri
Selama bertahun-tahun, narasi kebencanaan di Indonesia kerap menempatkan masyarakat dalam posisi pasif, cenderung menunggu peringatan, evakuasi, atau bantuan. Padahal, pada menit-menit krusial setelah bencana terjadi, kapasitas negara seringkali belum mampu hadir secara optimal.
Di wilayah Jawa Barat yang padat dan kompleks, jeda waktu antara kejadian bencana dan tibanya bantuan bisa menjadi jurang berbahaya. Bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, atau gempa bumi tidak memberikan waktu panjang untuk berunding atau menunggu. Dalam kondisi genting tersebut, TSB hadir sebagai alat transisi vital, mendorong masyarakat dari ketergantungan penuh menuju kesiapsiagaan mandiri.
Dengan memiliki TSB, warga setidaknya memiliki kendali awal atas keselamatan diri dan keluarganya, terutama pada fase-fase awal ketika sistem dan infrastruktur belum sepenuhnya pulih.
72 Jam Pertama: Fase Kritis yang Tak Bisa Ditawar
Dalam manajemen kebencanaan, 72 jam pertama pasca-kejadian sering disebut sebagai fase paling menentukan. Pada periode ini, listrik kerap padam, jaringan komunikasi lumpuh, dan jalur transportasi terputus. Kekacauan yang terjadi bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga memicu ketidakpastian psikologis.
TSB dirancang khusus untuk menjembatani fase genting ini. Isinya bukan sekadar barang, melainkan representasi strategi bertahan hidup. Perlengkapan esensial seperti air minum, makanan siap konsumsi, senter, obat-obatan pribadi, uang tunai, peluit, pakaian ganti, hingga dokumen penting yang disimpan kedap air, merupakan bentuk antisipasi terhadap potensi kegagalan sistem.
Tanpa TSB, individu berpotensi berada dalam posisi yang sangat rentan: bingung, bergantung, dan tidak berdaya. Sebaliknya, dengan TSB, peluang untuk bertahan hidup dan mengatasi situasi darurat awal meningkat secara signifikan.
Mitigasi Bukan Ketakutan, Melainkan Literasi Risiko
Masih ada pandangan yang menganggap bahwa menyiapkan TSB adalah tindakan berlebihan atau cerminan rasa takut yang tidak proporsional. Anggapan ini justru menunjukkan rendahnya literasi risiko di tengah masyarakat. Di wilayah seperti Jawa Barat, mitigasi bencana justru merupakan ekspresi rasionalitas yang tinggi.
Menyiapkan TSB tidak berarti mengundang bencana, melainkan mengakui realitas geografis dan iklim yang ada. Ini sama logisnya dengan memakai helm saat berkendara; TSB adalah perlindungan dasar yang rasional, bukan bentuk paranoia.
Ketika masyarakat terbiasa menyiapkan TSB, budaya keselamatan tidak lagi sepenuhnya bergantung pada instruksi darurat dari pihak berwenang, melainkan tumbuh dari kesadaran kolektif yang lebih mendalam.
Keselamatan Dimulai dari Rumah
Pemerintah memang memiliki peran penting dalam menetapkan status siaga, membangun sistem peringatan dini, dan menyiapkan tim respons cepat. Namun, keselamatan sejati tidak pernah sepenuhnya terpusat pada satu pihak. Ia selalu dimulai dari unit terkecil: rumah, dan dari keputusan-keputusan kecil yang konsisten di dalamnya.
TSB yang diletakkan di dekat pintu keluar rumah adalah pernyataan diam-diam bahwa sebuah keluarga siap menghadapi kemungkinan terburuk tanpa harus panik. Ini adalah bentuk partisipasi aktif warga dalam sistem kebencanaan yang lebih besar.
Di tengah ancaman iklim dan geologi yang semakin nyata, Tas Siaga Bencana bukan lagi sekadar rekomendasi. Ia adalah etika hidup baru bagi masyarakat Jawa Barat untuk lebih sadar risiko, siap bertindak, dan bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri dan keluarga.
Sebab, dalam situasi bencana, kesiapan bukan soal keberanian semata, melainkan soal pilihan dan tindakan yang telah dipersiapkan jauh sebelum sirene pertama berbunyi.






