Jurnalis televisi yang bertugas meliput Istana era KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kerap menyaksikan momen-momen krusial. Salah satunya saat Presiden ke-4 RI itu dipaksa mengakhiri kekuasaannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
“Dengan ini kami nyatakan bahwa jabatan Presiden Republik Indonesia kosong,” ujar Ketua MPR saat itu, Amien Rais, sebelum Megawati Soekarnoputri dilantik menggantikan Gus Dur. Petinggi militer sempat menemui Gus Dur, menyampaikan pesan dari TNI agar ia segera meninggalkan Istana demi keamanan. Gus Dur menjawab dengan tenang namun tegas, “Saya tidak akan keluar dari Istana sebelum saya sendiri yang memutuskan. Saya Presiden yang sah sampai akhir masa jabatan saya.”
Namun, pada akhirnya Gus Dur menyerah pada realitas. Ia mengumpulkan staf dan keluarga di ruang tengah Istana. Dengan suara bergetar namun tetap tersenyum, ia berkata, “Saya tidak akan keluar lewat pintu belakang seperti maling. Saya akan keluar lewat pintu depan, dengan kepala tegak!” Ia lantas memeluk stafnya, berjalan perlahan menuju pintu utama Istana didampingi istri dan keempat putrinya. Di luar gerbang, ribuan pendukungnya menangis histeris, namun Gus Dur hanya mengacungkan dua jempol sambil tersenyum lebar, tanpa air mata.
Seperempat abad kemudian, sosok Gus Dur kembali teringat saat organisasi kemasyarakatan yang pernah dipimpinnya, Nahdlatul Ulama (NU), menghadapi turbulensi luar biasa yang mengarah pada perpecahan. NU yang pernah disegani justru semakin kokoh saat Gus Dur bertahan dari terpaan rezim Presiden Soeharto.
Sebagai jurnalis yang meliput oposisi di era Orde Baru, penulis sering menyelinap ke kediaman Gus Dur di Ciganjur atau kantor PBNU. Di antara para tokoh, Gus Dur selalu menjadi magnet. Bukan karena karisma flamboyan, melainkan ketegarannya yang tenang, seperti pohon beringin yang tak goyah diterpa badai.
Gus Dur, saat menjabat Ketua Umum PBNU, pernah dijadikan “dissident” oleh rezim Soeharto. Ia diawasi ketat, bahkan mengalami percobaan pembunuhan. Namun, Gus Dur tak pernah menangis. Bahkan saat dikerdilkan penguasa, ia tetap berdiri tegak, dengan senyum khas yang menyiratkan, “Ini bukan akhir, ini baru permulaan.”
NU Hadapi Perpecahan Internal
Hari-hari ini, 25 tahun kemudian, penulis kembali mengenang Gus Dur bukan sekadar nostalgia. NU, organisasi yang ia cintai dan pimpin, sedang bergulat dengan perpecahan internal yang mengkhawatirkan. NU yang dulu menjadi penyeimbang kekuasaan di era Gus Dur, kini terperangkap dalam pusaran pragmatisme politik dan ekonomi.
Bagi penulis, ini bukan sekadar konflik elite, melainkan ancaman terhadap marwah NU sebagai Jam’iyah Ahlussunnah wal Jama’ah yang inklusif. Berdasarkan pengalaman meliput Gus Dur, termasuk saat ia membangun jembatan dialog antaragama sebagai Presiden RI, penulis berpandangan NU harus kembali ke khittah era Gus Dur sebelum perpecahan ini merenggut peran historisnya sebagai penjaga moderasi bangsa.
Perpecahan di tubuh PBNU saat ini konon bukanlah ledakan mendadak, melainkan akumulasi ketegangan sejak Muktamar ke-34 pada Desember 2021. Saat itu, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, mengalahkan Said Aqil Siradj. Kemenangan Gus Yahya menandai transisi dari kepemimpinan Said Aqil yang vokal isu global, menuju era “reorientasi” yang lebih fokus pada pemberdayaan ekonomi warga Nahdliyin.
Namun, transisi ini tidak mulus. Sejak awal, ada gesekan antara kubu reformis Gus Yahya dengan faksi tradisionalis yang merasa NU mulai “terlalu pragmatis”, meninggalkan akar tradisionalnya.
Puncak konflik meletus pada November 2025, ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan risalah rapat harian yang meminta Gus Yahya mundur. Alasan utamanya disebut-sebut undangan Peter Berkowitz, seorang akademisi Amerika yang dianggap pro-Israel, sebagai narasumber di Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU). Syuriyah menilai hal ini bertentangan dengan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah genosida Gaza. Rais Aam KH Miftachul Akhyar bahkan mengeluarkan ultimatum, memicu kritik dari Katib Syuriyah KH Nurul Yakin Ishaq yang menyebutnya “tidak prosedural.”
Pragmatisme Ekonomi Jadi Akar Masalah
Benang merah yang dilihat penulis lebih dalam adalah pragmatisme ekonomi yang kian parah. Konflik ini, menurut Ketua PBNU Ulil Absar Abdalla, berakar pada perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) soal pengelolaan konsesi tambang yang diberikan pemerintah era Jokowi kepada NU.
Di era Gus Dur, NU adalah penyeimbang, kritis terhadap Soeharto tanpa bergantung pada kekuasaan. Sejak Said Aqil, karakter kepemimpinan bergeser ke pragmatisme, dari dakwah, pendidikan, sosial ke politik-ekonomi yang “berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.”
Mungkin bukan hanya soal tambang atau undangan kontroversial, melainkan hilangnya ruh NU sebagai “organisasi penyeimbang”, yang dulu membuatnya kebal dari intrik elite kekuasaan.
Gus Dur Akan Menyatukan NU Tanpa Air Mata
Penulis membayangkan jika Gus Dur masih hidup, menyaksikan perpecahan ini, ia yakin tidak akan menangis. Gus Dur, yang tunanetra sejak 1990-an, tidak pernah goyah menghadapi tekanan Soeharto, bahkan saat dikerdilkan sebagai “ancaman negara.”
Penulis masih ingat peristiwa sekitar tahun 1992 kala Gus Dur membentuk Forum Demokrasi yang mengkritik pemilu curang Orde Baru. Soeharto membubarkan pertemuannya secara paksa. Gus Dur tidak ragu menyebut Soeharto “bodoh” dalam surat terbuka soal proyek nasional, memicu amarah Cendana. Namun, Gus Dur tidak meratap, ia malah datang ke Istana, meminta maaf dengan gaya khasnya, humoris tetapi tegas, sambil tetap mendukung aktivis.
Lebaran pun menjadi momen maaf-memaafkan. Meski berseberangan, Gus Dur tetap bersilaturahmi ke Cendana, membuktikan pluralisme NU. Andai Gus Dur hidup kini, ia pasti akan menangani perpecahan di tubuh NU ini dengan cara serupa: tegar, tanpa air mata.
“NU bukan milik satu orang,” katanya dulu saat menghadapi krisis internal 1984, di mana ia memimpin islah tanpa kompromi pada prinsip. Ia akan memanggil para kiai, bukan untuk rotasi jabatan, melainkan untuk dialog terbuka soal tambang. “Jika NU jadi antek pengusaha dan penguasa, kita hilang marwah,” demikian kira-kira pernyataan Gus Dur yang dibayangkan penulis kini.
Dalam pandangan penulis, Gus Dur tidak akan membiarkan pragmatisme merusak khittah 1926, yakni dakwah, pendidikan, sosial, karena ia pernah mengatakan bahwa NU adalah penjaga Republik, bukan pelayan tahta. Ia akan mengkritik undangan Berkowitz dengan sindiran, “Dialog iya, tetapi bokya jangan sampai NU dicap pro-genosida.”
Tegar seperti saat lolos dari percobaan pembunuhan, Gus Dur akan menyatukan NU dengan humor khasnya: “Kalau tambang bikin pecah, mending kita cari tali rafia untuk menyatukan nurani dulu.”
Sebagai “orang luar” yang sekadar terkait dengan Gus Dur karena tugas jurnalistik, penulis tidak ikhlas jika NU yang dulu diliput sebagai benteng moderasi, menjadi ormas pragmatis yang kehilangan peran penyeimbangnya. NU harus kembali ke era mandiri, inklusif, dan anti-korupsi.
Forum Masyayikh adalah langkah baik, tetapi butuh muktamar luar biasa untuk mereformasi AD/ART. Seperti Gus Dur yang tegar menghadapi tekanan Soeharto, NU harus bangkit dari perpecahan ini. Bukan dengan air mata, melainkan dengan aksi. Karena, seperti kata Gus Dur sendiri, “NU adalah Indonesia, dan Indonesia tidak boleh pecah.” Barangkali NU memang cuma butuh tali rafia untuk menyatukan perbedaan sikap yang mengarah perpecahan ini, bukan tambang.






