Seni ukir Jepara, sebuah warisan budaya yang kaya, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat di abad ke-16. Pada era kepemimpinan perempuan yang visioner ini, ukiran tidak hanya berfungsi sebagai hiasan semata, melainkan juga menjadi simbol kekuasaan, ekspresi keagamaan, dan identitas budaya yang kuat.
Bangunan-bangunan penting pada masa Ratu Kalinyamat banyak dihiasi dengan ukiran kayu dan batu. Motif-motif halus yang terpahat mencerminkan perpaduan harmonis antara kekayaan budaya lokal dengan pengaruh dari luar Nusantara.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Peran Patih Sungging Badarduwung dan Teknik Krawangan
Perkembangan pesat seni ukir Jepara tidak dapat dilepaskan dari kontribusi Patih Sungging Badarduwung, seorang seniman ulung yang berasal dari Campa. Menurut buku Pertemuan antara Hindu, Cina, dan Islam pada ornamen Masjid dan Makam Mantingan, Jepara karya Muh. Fakhrihun Na’am, Sungging Badarduwung memperkenalkan teknik krawangan.
Teknik krawangan adalah ukiran tembus pandang yang memberikan kesan ringan dan artistik, dengan Masjid Mantingan sebagai salah satu contoh nyata penerapannya. Portal Budaya Kita juga mencatat bahwa motif-motif yang sering digunakan oleh Sungging Badarduwung meliputi daun trubusan, jumbai, serta tangkai relung yang berpilin. Motif-motif ini sarat makna, melambangkan kesuburan, pertumbuhan, dan kemakmuran.
Motif Flora sebagai Identitas Utama
Salah satu ciri paling menonjol dari seni ukir Jepara pada masa Ratu Kalinyamat adalah dominasi motif flora. Para pengrajin dengan cermat mengolah bentuk-bentuk tumbuhan di sekitar mereka menjadi motif bunga pecahan dan lung-lungan yang telah disederhanakan.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menjelaskan bahwa daun lebar dengan ujung lancip serta tangkai kecil memanjang menjadi identitas visual yang membedakan ukiran Jepara dari ukiran daerah Jawa Tengah lainnya yang cenderung geometris. Lebih lanjut, ukiran di Masjid Mantingan juga memuat simbol-simbol seperti pohon hayat, burung phoenix, dan burung merak. Simbol-simbol ini dimaknai sebagai lambang keabadian, kekuatan, serta kekuasaan Ratu Kalinyamat sebagai pemimpin perempuan yang disegani.
Krawangan, Relief Tinggi, dan Pilihan Kayu Jati
Teknik krawangan tidak hanya estetis, tetapi juga fungsional. Pada dinding dan ventilasi masjid, teknik ini memungkinkan cahaya menembus ukiran, menciptakan efek visual yang menawan. Jurnal ISI Yogyakarta bertajuk Estetik Expressions of Jepara Carving karya Muhajirin menguraikan bahwa relief tinggi pada pintu dan jendela menghasilkan bayangan dinamis saat terkena sinar matahari, menambah kedalaman pada karya seni tersebut.
Pemilihan material juga menjadi kunci. Kayu jati menjadi pilihan utama karena dikenal kuat, awet, dan mudah dipahat. Karakteristik ini memungkinkan pengrajin untuk menciptakan detail rumit tanpa khawatir kayu akan retak, menjamin ketahanan karya seni ukir Jepara selama berabad-abad.
Akulturasi Budaya dalam Ukiran Mantingan
Seni ukir Jepara merupakan hasil akulturasi berbagai budaya, yaitu Hindu-Buddha, Islam, dan Cina. Hal ini kembali ditegaskan dalam buku Pertemuan antara Hindu, Cina, dan Islam pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan, Jepara karya Muh. Fakhrihun Na’am. Dalam ukiran, kaligrafi Arab sering dipadukan secara indah dengan motif tumbuhan khas Jepara.
Perpaduan ini bukan sekadar hiasan, melainkan simbol kuat dari sikap saling menghormati dan toleransi antarumat beragama yang telah mengakar sejak masa lalu. Pengaruh budaya Campa juga terlihat jelas pada motif lung bimo kurdo dan kembang setaman yang tersusun simetris. Motif-motif ini memperkaya ragam hias ukiran Jepara, menunjukkan adanya interaksi budaya yang dinamis dari luar Nusantara.
Dukungan besar dari Ratu Kalinyamat terhadap para pengrajin juga menjadi faktor krusial yang memperkuat perkembangan seni ukir Jepara. Berkat dukungan tersebut, warisan budaya yang tak ternilai ini terus bertahan dan berkembang, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.






