Nasional

Mengapa Cinta Perempuan Kerap Dilabeli ‘Berlebihan’? Menyoroti Standar Emosional Timpang dalam Relasi

Advertisement

Dalam dinamika hubungan asmara, posisi perempuan seringkali berada di persimpangan yang dilematis. Ketika mereka mencintai dengan sepenuh hati dan menunjukkan perhatian mendalam, label “berlebihan” kerap disematkan. Namun, saat memilih untuk menjaga jarak atau bersikap lebih pasif, mereka justru dicap tidak peduli. Kondisi ini memaksa perempuan untuk terus-menerus menyesuaikan diri, bukan demi membangun relasi yang sehat, melainkan demi memenuhi ekspektasi dan kenyamanan pihak lain.

Kata “berlebihan” mungkin terdengar netral dan sederhana. Namun, dalam konteks hubungan, istilah ini seringkali berfungsi sebagai instrumen penghakiman terhadap cara perempuan merasakan, mengekspresikan, dan memperjuangkan cinta. Lebih dari sekadar penilaian, ia menjadi bentuk penertiban emosional, sebuah pesan tersirat yang mengisyaratkan bahwa perasaan perempuan dianggap terlalu intens, terlalu mendalam, dan pada akhirnya, terlalu merepotkan.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Tudingan ini termanifestasi dalam berbagai bentuk di kehidupan sehari-hari. Perempuan yang menunjukkan kepedulian intens dapat dianggap posesif. Mereka yang berani menanyakan kejelasan masa depan seringkali dicap menuntut. Bahkan, keinginan untuk mendapatkan kepastian pun bisa dilabeli sebagai ketidaksabaran. Ekspresi emosi seperti kesedihan atau kecemasan pun tak jarang direduksi menjadi sekadar “drama”, seolah-olah cinta hanya diizinkan hadir selama tidak mengusik ritme atau kebebasan pihak lain.

Padahal, cara perempuan mencintai seringkali berakar pada keterlibatan emosional yang utuh dan mendalam. Banyak dari mereka mencintai dengan penuh perhatian, konsistensi, serta keinginan kuat untuk membangun kedekatan yang aman dan stabil. Bagi mereka, cinta bukan hanya sekadar perasaan, melainkan juga sebuah tanggung jawab. Dalam sebuah hubungan, perempuan kerap mengambil peran sebagai penjaga emosi, perawat luka, dan penopang stabilitas, sebuah “kerja emosional” yang melelahkan namun jarang diakui sebagai kontribusi berarti.

Ironisnya, “kerja emosional” inilah yang seringkali menjadi pangkal masalah. Ketika cinta yang diberikan perempuan mulai menuntut timbal balik berupa kehadiran yang konsisten, komunikasi yang jujur, atau komitmen yang jelas, ia justru dianggap terlalu membebani. Pada titik ini, cinta tidak lagi dirayakan, melainkan dihindari. Label “berlebihan” kemudian menjadi dalih yang nyaman untuk menjauh, tanpa perlu memikul tanggung jawab atas perasaan atau kebutuhan pasangannya.

Budaya patriarkal turut memperkuat ketimpangan ini. Sejak kecil, perempuan dididik untuk menjadi pribadi yang peka, empatik, dan peduli terhadap perasaan orang lain. Namun, pada saat yang sama, mereka diharapkan untuk tetap rasional, tenang, dan tidak terlalu emosional. Kontradiksi ini menempatkan perempuan dalam sebuah jebakan sosial: mereka diminta untuk merasakan lebih, tetapi justru dihukum atau dicap negatif ketika perasaan tersebut diekspresikan secara terbuka.

Akibatnya, ekspresi emosi perempuan seringkali tidak dianggap valid. Tangisan kerap dipandang sebagai kelemahan, amarah dicurigai sebagai tanda ketidakstabilan, dan kecemasan dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. Label-label ini tidak hanya meremehkan pengalaman emosional perempuan, tetapi juga secara sistematis membangun narasi bahwa perasaan mereka selalu membutuhkan koreksi, peredaman, atau penyederhanaan.

Advertisement

Dalam hubungan yang timpang, istilah “berlebihan” jarang muncul ketika cinta perempuan memberikan keuntungan atau kenyamanan sepihak. Label ini baru mengemuka ketika cinta tersebut mulai menuntut ruang, kejelasan, dan keseriusan. Dengan kata lain, “berlebihan” bukan tentang intensitas kadar cinta itu sendiri, melainkan tentang siapa yang merasa terganggu oleh tuntutan tersebut. Ketika perempuan berhenti menjadi pihak yang selalu menyesuaikan diri, label itu pun digunakan sebagai alat kontrol untuk mengembalikan mereka pada posisi semula.

Dampak dari fenomena ini tidaklah kecil. Banyak perempuan tumbuh dengan kebiasaan meragukan validitas emosi mereka sendiri. Mereka belajar untuk meminta maaf atas perasaan yang seharusnya sah, menahan tangis, mengecilkan kebutuhan, dan membungkam luka, semata-mata agar tidak dicap “terlalu sensitif”. Dalam jangka panjang, hubungan semacam ini tidak hanya menimbulkan luka emosional, tetapi juga secara perlahan mengikis harga diri mereka.

Pemahaman tentang cinta pun menjadi keliru, bukan sebagai ruang aman untuk tumbuh bersama, melainkan sebagai arena kompromi sepihak. Perempuan diminta untuk mencintai dengan sepenuh hati, namun tidak diizinkan menuntut timbal balik yang setara. Ketika cinta menjadi satu arah seperti ini, yang sebenarnya “berlebihan” bukanlah perasaan, melainkan ketimpangan dalam dinamika hubungan itu sendiri.

Padahal, intensitas emosi bukanlah musuh dari kedewasaan. Sebuah hubungan yang dewasa bukanlah hubungan yang hampa dari perasaan, melainkan hubungan yang mampu menampung dan menghargai setiap emosi tanpa penghakiman. Cinta yang sehat tidak menuntut satu pihak untuk terus-menerus menyesuaikan diri, melainkan memberikan ruang agar kedua belah pihak dapat hadir secara utuh dan autentik.

Sudah saatnya cara pandang ini digeser. Kita perlu berhenti memaknai cinta dari seberapa pandai seseorang menahan diri, dan mulai menilainya dari seberapa adil sebuah hubungan memperlakukan emosi kedua belah pihak. Perempuan tidak mencintai secara berlebihan; merekalah yang selama ini diminta untuk mencintai dalam batas-batas yang ditentukan oleh orang lain.

Menyebut cara perempuan mencintai sebagai “berlebihan” tanpa memahami konteksnya hanya akan melanggengkan ketimpangan emosional yang merugikan. Yang seharusnya dikoreksi bukanlah kedalaman cinta perempuan, melainkan standar hubungan yang terus-menerus memihak pada kenyamanan sepihak. Sebab, cinta pada hakikatnya tidak pernah berlebihan; yang seringkali berlebihan adalah tuntutan agar perempuan terus mengecilkan dirinya demi dianggap wajar dan diterima.

Advertisement
Mureks