Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengungkapkan temuan mengejutkan terkait kondisi sekolah yang terdampak banjir di Sumatera. Hasil peninjauan lapangan menunjukkan tiga kategori kerusakan, mulai dari yang rusak berat hingga sekolah yang benar-benar hilang.
Tiga Kategori Kerusakan Sekolah Akibat Banjir
Dalam konferensi pers di Graha BNPB, Matraman, Jakarta Timur, pada Selasa (30/12/2025), Mu’ti menjelaskan bahwa ada sekolah yang sudah tidak ada lagi karena seluruh kampungnya juga telah lenyap.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
“Temuan kami di lapangan ada tiga. Yang pertama memang sekolahnya sudah sama sekali tidak ada. Jadi sudah tidak ada karena memang kampungnya juga sudah tidak ada, sekolahnya otomatis tidak ada, sehingga memang harus dibangun baru,” kata Mu’ti.
Kategori kedua adalah sekolah yang masih berdiri namun berada di lokasi rawan bencana dan tidak aman. Mu’ti menyebutkan beberapa daerah yang mengalami kondisi ini.
“Yang kedua, sekolahnya masih ada tetapi terletak di daerah yang tidak aman. Saya menemukan itu di Agam, di Tamiang, dan beberapa di Langkat, di Sumatera Utara,” jelasnya.
Sementara itu, kategori ketiga mencakup sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan parah dan memerlukan pembangunan ulang di lokasi yang sama.
“Kemudian yang ketiga memang adalah sekolah-sekolah yang kondisinya sudah sangat rusak, sehingga harus dibangun baru tetapi tetap di lokasi yang sama,” tutur Mu’ti.
Tantangan Relokasi dan Dampaknya pada Kurikulum
Mu’ti mencontohkan kondisi di Langkat, di mana sebuah SD kerap terendam banjir bahkan tanpa adanya bencana besar, karena posisi sekolah yang lebih rendah dari jalan dan tidak memiliki drainase yang memadai. Kondisi ini menuntut adanya relokasi.
“Misalnya di Langkat itu, SD yang saya kunjungi itu walaupun tidak ada musibah, sekolah tersebut selalu banjir. Karena posisi sekolah lebih rendah daripada posisi jalan, sehingga selalu banjir dan tidak ada drainase di situ,” jelasnya.
Proses relokasi sekolah, menurut Mu’ti, akan memakan waktu karena melibatkan pemerintah daerah untuk mencari lahan baru. Otoritas penanggung jawab relokasi berbeda-beda.
“Nah terkait dengan hal ini, kalau harus relokasi, memang ini akan melibatkan pemerintah daerah karena harus mencari lahan baru. Yang ini memang ada dua otoritas,” kata Mu’ti.
Ia merinci, “Untuk tingkat SLTA, SMA, SMK, dan Sekolah Luar Biasa, itu oleh pemerintah provinsi. Kemudian untuk TK, SD, dan SMP, otoritasnya oleh pemerintah kabupaten/kota.”
Lamanya proses relokasi ini menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan kurikulum pemulihan pascabencana yang dirancang bertahap.
“Nah proses relokasi ini yang memang perlu waktu lama karena harus mencari lahannya dulu, kemudian baru dibangun sekolah baru. Nah itu tadi kenapa kemudian kami merancang kurikulumnya ada yang untuk 1 sampai 3 tahun,” ujar Mu’ti.
Ia menambahkan, “Karena memang ini akan sangat bervariasi tergantung dari kesiapan masing-masing daerah.”
BNPB Petakan Ulang Kawasan Terdampak untuk Pemulihan Jangka Panjang
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menambahkan bahwa asesmen tidak hanya berfokus pada sekolah, tetapi juga seluruh kawasan yang terdampak bencana.
“Dari aspek mitigasi bencananya, tidak hanya sekolah yang kita asesmen. Saat ini kita memetakan ulang keseluruhan daerah terdampak dan nantinya di titik-titik tertentu untuk faskes (fasilitas kesehatan), fasdik (fasilitas pendidikan), serta fasum-fasos (fasilitas umum dan sosial) akan kita tinjau ulang,” jelas Abdul.
Pemetaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah lokasi fasilitas publik berada di daerah rawan banjir tahunan atau hanya terdampak bencana sesaat.
“Apakah posisi saat ini berada pada daerah yang terkena banjir atau daerah yang terkena bencana tahunan, seperti tadi ada sekolah, atau bencana yang hanya terjadi pada saat ini saja,” lanjutnya.
Hasil pemetaan ini akan menjadi dasar penyusunan rencana pemulihan pascabencana yang sedang berjalan dan akan menjadi acuan ke depan.
“Saat ini sedang berjalan pembuatan rencana pemulihan pascabencana. Nah, itu nanti akan menjadi pegangan kita. Yang penting tentu saja kita harus mengingat bahwa bencana ini adalah peristiwa yang berulang,” jelas Abdul.
Abdul Muhari menekankan pentingnya memastikan keselamatan peserta didik dalam jangka panjang, mengingat sifat bencana yang berulang.
“Sekali terjadi di masa lalu, pasti akan terjadi lagi di masa depan, sehingga kita harus memastikan keselamatan peserta didik. Tidak hanya sekarang, mungkin 10 tahun, 20 tahun, atau 30 tahun ke depan tetap bisa aman dari potensi bencana yang sama dengan saat ini,” tandasnya.






