Senin, 29 Desember 2025, rintik hujan pagi menyelimuti Kota Depok, menciptakan suasana syahdu yang menenangkan. Darwati, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kota Depok sekaligus mahasiswi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Maju (UIMA) Jakarta, memulai harinya dengan ritual yang menyegarkan jiwa: basuhan air wudu yang dingin meresap ke pori-pori, dilanjutkan dengan sujud panjang di waktu Subuh.
Jarak rumah ke kantor yang relatif dekat memberikan Darwati “kemewahan waktu” untuk membereskan rumah dan menyiapkan masakan. Baginya, rumah yang tertata rapi sebelum melangkah pergi adalah awal dari pikiran yang tenang, memberikan kepuasan batin yang sulit dilukiskan.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Momen pagi itu menjadi jeda berharga sebelum berinteraksi dengan dunia luar. Darwati menyadari bahwa waktu luang sebelum berangkat kerja bukan sekadar menyelesaikan urusan domestik, melainkan ruang penting untuk mengisi “tangki” kesabaran agar batin tidak mudah goyah. Di sela-sela kesibukan itu, seuntai ayat indah dalam Al-Qur’an terlintas di benaknya.
Namun, hidup memang sekolah kesabaran yang ujiannya sering kali datang tanpa permisi. Di tengah hiruk-pikuk aktivitas hari itu, kedamaian yang telah dirajut sejak pagi tiba-tiba diuji oleh sebuah situasi yang kurang nyaman. Darwati berhadapan dengan interaksi yang cukup menguras emosi.
Kata-kata yang terlontar dengan nada tinggi, berpadu dengan gestur yang terasa kurang bersahabat, seketika menghimpit ruang di dadanya. Ada rasa sesak yang sempat singgah, dan sisi manusiawinya nyaris tergoda untuk membalasnya dengan prasangka.
Pikiran Darwati seolah ingin menarik kesimpulan cepat dan mulai menghakimi, menciptakan celah bagi energi negatif untuk masuk dan merusak ketenangan yang susah payah ia bangun. Dalam situasi penuh tekanan itu, ia merasa sangat bersyukur karena memiliki kebiasaan kecil yang ternyata menjadi penyelamat: menyimpan kutipan-kutipan bijak sebagai “obat darurat” di dalam ponsel.
Tiba-tiba saja, memori dalam kepalanya memanggil kembali sebuah pesan harian yang sering dikirimkan oleh seorang Bapak yang ia tuakan. Nasihat tulus itu seketika terngiang kembali, hadir seperti oase di tengah gurun, menyejukkan hatinya yang sedang memanas.
“Nak, jangan mudah menghakimi orang lain. Kita tidak pernah tahu beban apa yang sedang mereka pikul. Mungkin saja sikapnya yang kurang menyenangkan itu adalah cerminan dari lelahnya hati dan pikiran yang sedang berjuang,” demikian kutipan bijak yang diingat Darwati.
Setiap peristiwa yang hadir dalam hidup sejatinya adalah cermin untuk melihat jauh ke dalam diri. Penting untuk menyadari bahwa setiap orang sedang berjuang dalam “medan perang” batinnya masing-masing. Terkadang, sikap tidak menyenangkan yang diterima dari orang lain hanyalah luapan dari rasa lelah atau beban hidup yang tak kasatmata. Di sinilah pentingnya meresapi kembali pesan indah dari Rasulullah SAW.
Mari mencoba berkaca sejenak; bukankah tidak ada satu pun manusia yang benar-benar sempurna? Rasanya tidak bijak jika merasa lebih baik hanya dengan menghakimi kekurangan orang lain. Kita semua hanyalah pembelajar di sekolah kehidupan yang sama. Dengan menyadari hal ini, hati akan lebih mudah dituntun untuk memilih empati daripada caci maki.
Pilihlah untuk tetap berdiri tegak dengan hati yang lapang. Jadikan jiwa seluas samudra—yang tetap jernih dan tenang meski harus menampung ribuan muara rasa yang pahit. Jangan lelah untuk terus menebar energi positif, sebab pada akhirnya, hidup adalah perihal ‘menanam’ dan ‘memanen’. Ingatlah, apa pun yang disemaikan di hati orang lain—entah itu luka yang menyayat atau maaf yang tulus—semuanya akan kembali dituai di masa depan.
Mutiara Pengingat Jiwa
-
Kedamaian Sebelum Melangkah: Jadikan setiap pagi sebagai momen untuk menuntaskan urusan dengan diri sendiri sebelum berhadapan dengan dunia. Jangan biarkan langkah kaki melewati ambang pintu rumah jika hati belum benar-benar damai, agar hiruk-pikuk di luar sana tidak mudah merampas ketenangan yang telah dibangun.
-
Hikmah sebagai Perisai Abadi: Ubahlah setiap untaian kalimat bijak yang ditemui menjadi tabungan kekuatan bagi jiwa. Simpanlah ia baik-baik sebagai perisai mental yang kokoh; karena ketika badai emosi mulai datang melanda, kata-kata penuh hikmah itulah yang akan menjadi sauh agar jiwa tetap tenang, teguh, dan tidak karam ditelan keadaan.
-
Kemurnian Hati dalam Hukum Pantulan: Resapi dalam-dalam bahwa Allah akan memperlakukan kita selaras dengan bagaimana kita memperlakukan sesama hamba-Nya. Jika ada rindu untuk senantiasa dijaga oleh-Nya, maka mulailah dengan menjaga lisan dan memurnikan prasangka terhadap orang lain. Sebab pada akhirnya, apa pun yang dipancarkan dari kedalaman hati, itulah yang akan semesta kembalikan ke dalam hidup.






