Nasional

Membongkar Anggaran Bencana di Indonesia: Tantangan Transparansi dan Akuntabilitas di Tengah Rentannya Wilayah

Advertisement

Serangkaian bencana alam besar kembali melanda Indonesia di penghujung tahun 2025. Erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, disusul kabar duka akibat banjir bandang di wilayah Sumatera bagian barat hingga utara. Peristiwa ini kembali mengguncang kesadaran publik akan kerentanan banyak wilayah di tanah air terhadap bencana dalam berbagai skala, dengan daya rusak, korban jiwa, serta kerugian sosial dan ekonomi yang besar.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat data yang memprihatinkan. Sebanyak 22.468 bencana menimpa Indonesia dalam kurun waktu 2020-2024. Khusus periode Januari hingga 23 Desember 2025, tercatat 3.160 kejadian bencana. Musibah ini meliputi banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, gelombang pasang dan abrasi, gempa bumi, kekeringan, serta erupsi gunung api.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Akibatnya, 1.546 korban jiwa melayang, lebih dari 10,3 juta orang menderita dan terpaksa mengungsi. Kerugian material juga masif, mencakup kerusakan 195.597 rumah dan 2.272 fasilitas umum lainnya.

Musibah banjir dan tanah longsor seringkali dikaitkan dengan laju deforestasi dan degradasi lahan. Hal ini diakibatkan oleh kegiatan industri ekstraktif pada sektor kehutanan dan pertambangan. Perdebatan klasik antara pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi nasional dan upaya perlindungan serta keberlanjutan ekologi terus berulang.

Meskipun teori dan konsep seperti environmental ethics (Leopold, 1949; Carson, 1962; White Jr., 1967), sustainable development goals (SDGs), sustainable forest management (CIFOR, 2005), dan good mining practices (Suyartono, dkk., 2003) telah diadopsi dalam berbagai kebijakan dan regulasi, ketegasan dan efektivitas pelaksanaannya selalu menjadi sorotan.

Ketersediaan Anggaran Penanggulangan Bencana

Tanggung jawab pemetaan kerawanan, upaya pencegahan, dan tanggap darurat bencana merupakan bagian dari suburusan konkuren. Ini diselenggarakan bersama oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan kabupaten/kota, berdasarkan batas kewenangan, skala dampak, serta luas teritori, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sebagian tanggung jawab ini juga didelegasikan kepada desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan secara berjenjang dan terencana.

Kerangka penganggaran penanggulangan bencana ditetapkan dalam dua skema utama. Pertama, melalui anggaran masing-masing unit kerja terkait untuk pencegahan dan pemulihan. Kedua, melalui dana cadangan yang dapat dipergunakan setiap saat (on-call) secara lebih fleksibel. Pengaturan ini diatur secara terperinci dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.

Alokasi dana cadangan penanggulangan bencana dalam APBN tahun anggaran 2016-2025 berkisar antara paling sedikit Rp3 triliun hingga paling banyak Rp7,5 triliun. Untuk tahun 2025, alokasi dana ini mencapai Rp5 triliun. Selain itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap provinsi dan kabupaten/kota juga mengalokasikan belanja tidak terduga (BTT) dengan jumlah yang bervariasi, yang dapat digunakan saat terjadi bencana di daerah.

Advertisement

Pencegahan dan pengendalian bencana juga dikategorikan sebagai bagian dari aksi adaptasi perubahan iklim. Kementerian Keuangan melaporkan realisasi belanja bidang kebencanaan pada tahun 2021 sebesar Rp33,1 triliun. Realisasi belanja terbesar dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan Rp28,89 triliun. Dana ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur pengendali banjir, longsor tanah dan lahar, serta pemecah gelombang lepas pantai, meliputi pembangunan drainase, check dam, pintu air pengendali banjir, stasiun pompa banjir, sudetan, sabo dam, hingga breakwater.

Sementara itu, BNPB merealisasikan belanja sebesar Rp4,13 triliun. Anggaran ini mendukung penyusunan kajian risiko bencana, pemulihan dan peningkatan pascabencana, pelatihan kesiapsiagaan bencana, serta pendampingan kepada masyarakat terdampak bencana.

Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Bencana

Mekanisme penggunaan dana cadangan penanggulangan bencana atau dana darurat yang mudah dan fleksibel ditengarai rawan penyalahgunaan. Beragam kasus korupsi telah diungkap oleh aparat penegak hukum sejak musibah tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, gempa Sumatera Barat 2008, dan rangkaian kasus lain selama dua dekade terakhir. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) banyak mengungkap potensi kerugian negara/daerah dan tindak pidana korupsi dari pengelolaan dana penanggulangan bencana, baik yang ditangani oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pada tahun 2024, BPK telah mengidentifikasi beberapa risiko utama dalam pengelolaan dan pelaksanaan anggaran bencana, khususnya yang dikelola oleh BNPB. Pengadaan barang/jasa, serta penyaluran dan penggunaan bantuan atau dana siap pakai menjadi perhatian utama. BPK juga memantau tindak lanjut hasil pemeriksaan sebelumnya, di mana 81,30 persen dari total 1.198 rekomendasi telah ditindaklanjuti, sementara 16,70 persen masih belum selesai.

Risiko penyalahgunaan anggaran tersebut bermula dari minimnya keterbukaan informasi publik dan rendahnya akuntabilitas. Penelusuran laporan penggunaan dana siap pakai atau dana darurat bencana tidak mudah ditemukan. Laporan pertanggungjawaban seringkali hanya menjadi konsumsi internal masing-masing instansi, tanpa memberikan ruang koreksi dan kontrol publik yang memadai.

Keterbatasan anggaran yang disediakan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah tidak mungkin mampu memenuhi seluruh kebutuhan ketika kejadian bencana alam datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas harus dijalankan sepenuh hati untuk menjaga kepercayaan publik dan pemangku kepentingan agar terus berpartisipasi dalam penanggulangan bencana.

Advertisement
Mureks