Nasional

Ada yang Keliru dalam Definisi Sukses: IPK Tinggi Tak Jamin Mental Mahasiswa Kuat

Advertisement

Pertanyaan “IPK kamu berapa?” hampir selalu menjadi pembuka percakapan di lingkungan kampus. Bagi Jefri Manta Ginting, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Katolik Santo Thomas Medan, pertanyaan ini seolah merangkum seluruh perjalanan dan nilai seseorang, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks. Sistem pendidikan kerap menanamkan keyakinan bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi adalah jaminan masa depan yang cerah, namun ironisnya, banyak mahasiswa justru menyimpan kegelisahan di balik transkrip nilai yang cemerlang.

Jefri mengamati, IPK telah bergeser fungsinya dari sekadar alat evaluasi akademik menjadi tolok ukur harga diri. Ketika nilai tinggi, mahasiswa merasa berharga dan aman. Namun, penurunan sedikit saja dapat memicu perasaan gagal, cemas, bahkan malu, seolah seluruh keberhasilan hidup bergantung pada satu semester yang tidak sempurna.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Padahal, esensi IPK adalah mengukur capaian akademik, bukan ketahanan mental, empati, atau kemampuan beradaptasi. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia cenderung menyempitkan makna sukses menjadi sesuatu yang terukur dan dapat dibandingkan. Kondisi ini membuat proses belajar kehilangan makna, di mana yang dikejar bukan lagi pemahaman mendalam, melainkan sekadar angka.

Tekanan dari Lingkungan dan Masyarakat

Tekanan terhadap IPK tinggi tidak hanya berasal dari lingkungan kampus. Lingkungan sekitar, termasuk keluarga dan masyarakat, turut berperan besar. Orang tua, dengan niat baiknya, seringkali menaruh harapan tinggi pada nilai akademik anak-anak mereka. Masyarakat juga cenderung memuja gelar dan IPK sebagai simbol keberhasilan mutlak.

Tanpa disadari, kondisi ini menciptakan ruang yang minim toleransi terhadap kegagalan. Kegagalan tidak lagi dianggap sebagai bagian alami dari proses belajar, melainkan sesuatu yang memalukan dan harus disembunyikan dari pandangan publik.

Akibatnya, banyak mahasiswa dengan IPK nyaris sempurna justru merasakan kekosongan. Mereka terbiasa memenuhi standar yang ditetapkan, namun jarang diberikan ruang untuk mengenali diri sendiri dan mengembangkan potensi non-akademik. Kelelahan dan burnout pun dianggap sebagai hal lumrah, selama nilai tetap berada di zona aman. Mental yang rapuh seolah menjadi harga yang harus dibayar demi predikat “berprestasi”.

Advertisement

Dunia Nyata Menuntut Lebih dari Sekadar Angka

Jefri mengingatkan, kehidupan pascakampus tidak lagi beroperasi dengan sistem penilaian layaknya di perguruan tinggi. Dunia nyata tidak menanyakan IPK setiap hari, melainkan menuntut kemampuan adaptasi, komunikasi efektif, dan ketahanan untuk bangkit setelah mengalami kegagalan. Nilai-nilai krusial ini sayangnya tidak tercantum dalam transkrip akademik, padahal sangat menentukan bagaimana seseorang dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan.

Jefri tidak menampik bahwa IPK tetap penting dan layak diperjuangkan. Namun, ia menegaskan bahwa menjadikan IPK sebagai satu-satunya definisi sukses berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi rapuh secara emosional. Lulusan yang dihasilkan berpotensi menjadi pribadi yang takut berbuat salah, enggan mencoba hal baru, dan terus dihantui perasaan tidak cukup.

Mendesak Redefinisi Makna Sukses

Sudah saatnya, menurut Jefri, untuk mengubah cara pandang terhadap definisi sukses. Keberhasilan seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental individu. Pendidikan semestinya berorientasi pada pertumbuhan manusia secara utuh, bukan sekadar keunggulan di atas kertas. Oleh karena itu, kampus, keluarga, dan masyarakat perlu mulai menghargai proses belajar dan perkembangan, bukan hanya terpaku pada hasil akhir.

Keberhasilan sejati, ia menyimpulkan, mungkin bukan terletak pada seberapa tinggi IPK yang diraih, melainkan seberapa utuh seseorang menjalani hidup setelahnya. Jika sebuah sistem pendidikan hanya mampu menghasilkan angka-angka yang indah namun meninggalkan individu yang lelah dan kehilangan arah, maka yang perlu dipertanyakan adalah cara kita mendefinisikan sukses itu sendiri, bukan pada mahasiswanya.

Advertisement
Mureks