Sabtu, 27 Desember 2025 – Perbedaan bahasa seringkali dianggap sebagai tembok pembatas dalam interaksi sosial. Namun, bagi Shakila Farizka, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, pengalaman menetap di Desa Cintaratu, Pangandaran, Jawa Barat, justru membuktikan sebaliknya. Ia menemukan kehangatan dan kekeluargaan yang melampaui sekat-sekat linguistik.
Setelah beberapa hari tinggal di Jatinangor, Shakila pertama kali merasakan keunikan sapaan lokal saat tiba di Pangandaran. Panggilan seperti “Teteh” untuk perempuan atau “Akang” untuk laki-laki, yang diucapkan dengan intonasi Sunda yang khas, lembut, dan pelan, awalnya terdengar asing di telinganya. Lidahnya masih terasa kaku, canggung, dan gugup, khawatir salah menangkap makna.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Di tengah kebingungan itu, warga setempat justru menjadi penguat. Seorang ibu, yang kemudian menjadi akrab dengan Shakila, adalah sosok pertama yang menunjukkan kehangatan. Ia menyambut dengan senyuman, cerita, dan berbagai pujian. Ketika Shakila tidak sepenuhnya mengerti, ia hanya membalas dengan senyuman, anggukan kecil, atau tatapan bertanya. Alih-alih merasa tersinggung, sang ibu justru tertawa kecil melihat kesalahpahaman tersebut, lalu menawarkan makanan, bantuan, dan keramahan tanpa pamrih, seolah bahasa tidak lagi menjadi tembok pembatas.
Pengalaman serupa terus berdatangan dari warga lainnya. Hampir setiap hari, setiap kali melewati rumah warga, Shakila disambut dengan senyum, sapaan, atau sekadar gestur kecil yang membuatnya merasa diterima. Momen-momen ini menyadarkan Shakila bahwa ada hal yang lebih besar dari perbedaan bahasa, yaitu rasa kemanusiaan yang hangat.
Bantuan pun datang secara perlahan dalam berbagai bentuk. Ada warga yang tiba-tiba menghampiri dan menawarkan tumpangan, ada pula yang bertanya tentang kondisinya atau memastikan ia baik-baik saja. Shakila mengaku sempat merasa malu dan sungkan, namun juga terharu. Ia menyadari bahwa kepedulian tidak datang karena persamaan latar belakang, melainkan melalui ketulusan, perhatian, dan kehangatan hati.
Semua interaksi ini semakin mempererat kedekatan dan kekeluargaan. Pengalaman di Pangandaran mengajarkan Shakila bahwa kedekatan dan kekeluargaan tidak akan terhalang oleh perbedaan bahasa. Justru, hal itulah yang membangun pemahaman antar-latar belakang yang berbeda. Senyum, sapaan, dan teguran merupakan bahasa universal yang mampu memecah jarak antarperbedaan. Di wilayah Pangandaran, Shakila mungkin belum sepenuhnya memahami setiap kata, tetapi ia mengetahui bahwa ketulusan akan selalu punya cara untuk dimengerti.






