Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan membacakan putusan terhadap dua gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada Rabu, 17 Desember 2025. Gugatan ini diajukan oleh sejumlah musisi papan atas Indonesia, termasuk Nazril Irham atau Ariel NOAH dan Tubagus Arman Maulana atau Armand Maulana.
Dua perkara uji materi tersebut terdaftar dengan nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 37/PUU-XXIII/2025. Perkara Nomor 28 dimohonkan oleh Armand Maulana, Ariel NOAH, Vina DSP Harrijanto Joedo (Vina Panduwinata), serta 26 musisi dan penyanyi lainnya. Sementara itu, perkara Nomor 37 diajukan oleh grup musik TKOOS Band dan penyanyi rok Saartje Sylvia.
Pembacaan putusan kedua perkara ini akan dilaksanakan mulai pukul 13.30 WIB di Gedung 1 MK RI, bersamaan dengan delapan perkara uji materi lainnya. “Acara: pengucapan putusan/ketetapan. Tempat: Gedung 1 MK RI,” demikian dilansir Antara.
Polemik Perlindungan Pelaku Pertunjukan dalam UU Hak Cipta
Dalam Perkara Nomor 28, Armand Maulana dan rekan-rekan musisi mengajukan uji materi terhadap konstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta. Para pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum ini, menurut pemohon, menciptakan ancaman struktural dan tidak memberikan perlindungan yang jelas, setara, serta memadai, khususnya bagi para pelaku pertunjukan. Mereka menyoroti sejumlah polemik hak cipta yang kerap terjadi di kalangan pelaku pertunjukan.
Salah satu contoh yang diangkat adalah pengalaman vokalis grup musik Kahitna, Hedi Yunus, yang juga menjadi pemohon. Hedi Yunus disebut mengalami kerugian konstitusional signifikan karena pencipta lagu “Melamarmu”, yang sering ia bawakan, mewajibkan penerapan lisensi langsung (direct licensing) untuk mempertunjukkan lagu tersebut.
Direct licensing adalah sistem lisensi langsung antara pemilik hak cipta dan pengguna karya, tanpa melalui lembaga perantara seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Hedi, sebagaimana termuat dalam berkas permohonannya, mengaku “mengalami situasi yang tidak menentu untuk melantunkan lagu Melamarmu” akibat sistem yang diterapkan oleh sang pencipta lagu.
Gugatan TKOOS Band Terkait Lagu Koes Plus
Sementara itu, TKOOS Band dan Saartje Sylvia mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dalam Perkara Nomor 37. Salah satu alasan utama pengajuan permohonan ini adalah larangan dari ahli waris grup musik pop rok legendaris Koes Plus kepada TKOOS Band untuk mempertunjukkan lagu-lagu ciptaan mereka.
Dinukil dari berkas permohonannya, TKOOS Band mengaku “mengalami penurunan citra di masyarakat karena seolah-olah melakukan penggunaan karya secara komersial tanpa memperhatikan hak ekonomi pencipta, padahal lagu-lagu yang dibawakan telah dibayarkan royaltinya melalui LMKN maupun LMK.” Situasi ini menunjukkan kompleksitas dalam pengelolaan hak cipta dan royalti di Indonesia.
Melalui uji materi ini, para pemohon dalam kedua perkara tersebut meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penafsiran baru terhadap sebagian pasal yang diuji, atau bahkan membatalkan keberlakuan sebagian pasal lainnya. Proses persidangan kedua perkara ini telah bergulir di MK sejak sidang pemeriksaan pendahuluan pada 24 April 2025.
Selama prosesnya, MK telah meminta keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, saksi dan ahli, serta pihak terkait seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), untuk mendapatkan gambaran komprehensif sebelum mengambil putusan.






