Nasional

Lingkaran Abadi Sisypus di Tengah Kembang Api: Refleksi Mendalam atas Resolusi dan Perubahan Hidup

Kamis, 01 Januari 2026, menjadi penanda pergantian tahun. 2026 tiba layaknya tamu yang kedatangannya sudah tertebak, namun tetap saja membuat kita sibuk menata “ruang tamu” kehidupan. Persiapan kembang api, sesi bakar-bakar daging, hingga minuman dingin di kulkas menjadi ritual yang tak terpisahkan. Terompet pun dibeli, entah untuk meniupkan harapan baru atau sekadar mengusir kesedihan yang enggan minggat.

Pergantian tahun selalu memicu keramaian dan sentimen. Seolah, pukul dua belas malam adalah garis demarkasi antara kehidupan lama dan yang baru. Namun, ketika petasan terakhir meredup, realitas seringkali tetap sama. Tagihan masih menanti, tenggat waktu pekerjaan belum berubah menjadi liburan, dan orang-orang terkasih belum tentu tiba-tiba menjadi lebih mudah dipahami.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Meski demikian, perayaan tetap berlangsung. Mungkin bukan karena keyakinan akan datangnya keajaiban, melainkan karena kelelahan. Perayaan menjadi cara paling waras untuk sejenak menipu diri. Tahun baru adalah jeda buatan, seolah dunia memberikan kesempatan kedua; seolah resolusi yang terbengkalai tahun lalu bisa diselamatkan hanya dengan mengganti angka di kalender.

Penulis, misalnya, juga menyiapkan daftar resolusi. Tahun lalu, niat untuk berolahraga tiga kali seminggu lebih sering berakhir pada sekadar mengingat bahwa seharusnya berolahraga. Niat membaca buku lebih banyak justru tergantikan oleh notifikasi grup WhatsApp. Hidup memang jarang dramatis; ia hanya berjalan pelan, seolah menertawakan upaya kita.

Mungkin karena itulah, menjelang pergantian tahun, melankoli kerap menyelimuti. Kita menatap langit malam, merasakan sesuatu yang tersangkut di dada, seperti detik yang enggan bergerak. Pertanyaan-pertanyaan lirih muncul tanpa suara: apakah saya baik-baik saja? Apakah hidup ini benar-benar bergerak maju, atau hanya memutar kita di tempat yang sama?

Siklus Sisypus dalam Kehidupan Pribadi dan Kebangsaan

Pada titik ini, kita menyerupai Sisypus, sosok mitologi yang dihukum para dewa untuk mendorong batu besar yang selalu jatuh kembali. Kita tahu ceritanya: ia bekerja tanpa henti, naik turun bukit, tanpa akhir. Namun, ada satu hal yang sering luput diceritakan: Sisypus tidak mati kelelahan. Ia terus bangkit, menata napas, dan mendorong batu itu lagi. Dalam repetisi yang absurditasnya sempurna, ia justru menjelma menjadi manusia paling sabar di antara kita.

Mureks mencatat bahwa fenomena Sisypus ini juga kerap terjadi dalam skala kebangsaan. Kita mengeluhkan harga kebutuhan pokok, jalanan berlubang, atau birokrasi yang memusingkan. Kita menyaksikan skandal politik silih berganti layaknya episode serial televisi. Kita marah, lalu lupa, lalu marah lagi. Kita adalah Sisypus kebangsaan: mendorong tuntutan, memanggul harapan. Batu itu memang besar, namun kita tak punya pilihan selain ikut menahannya agar tak menimpa diri sendiri.

Namun, beban hidup pribadi seringkali lebih halus daripada isu politik. Beban tidak selalu berwujud regulasi atau korupsi. Terkadang, ia adalah ketakutan tak mampu membayar sewa, pertengkaran kecil yang berujung dingin, atau sekadar perasaan bangun pagi tanpa alasan jelas untuk bersemangat. Kita tidak selalu hancur oleh badai besar. Seringkali, hujan rintik yang terus-meneruslah yang perlahan melubangi atap.

Kita bertahan bukan karena kekuatan semata. Kita bertahan karena esok hari akan tetap datang, meskipun kita belum siap. Kita membeli galon air, membayar tagihan listrik, dan meminta maaf pada diri sendiri atas hal-hal yang belum terselesaikan. Terkadang, bertahan satu hari lagi adalah bentuk keberanian yang paling jujur.

Membentuk Masa Depan, Bukan Sekadar Menyambut

Tahun baru tidak menawarkan jawaban. Ia hanya memberikan ruang untuk menanyakan ulang pertanyaan. Apakah kebahagiaan harus selalu berupa hal besar? Atau, cukup berupa kemampuan tertawa ketika hidup menguji kita? Mungkin, bahagia adalah bangun pagi tanpa kecemasan yang menjerat leher. Mungkin ia hadir ketika kita berhasil memaafkan sedikit, melupakan sedikit, dan bergerak sedikit.

Namun, ada satu hal yang sebaiknya tidak kita biarkan berulang terus. Mengapa batu itu selalu jatuh di titik yang sama? Mengapa perayaan tahun baru hanya menjadi hiburan, tanpa menjadi awal dari kerja yang sungguh-sungguh? Mungkin sudah saatnya kita mencurigai kebiasaan kita sendiri. Kita tidak bisa berharap perubahan jika terus menghadapinya dengan cara yang sama.

Tahun baru tidak memberikan apa pun kepada penonton pasif. Harapan membutuhkan pemilik. Keberanian membutuhkan tuan. Jika kita hanya bersorak melihat kembang api dan kembali tidur dengan hati yang sama letihnya, maka esok hanyalah salinan dari kemarin. Palung terdalam dari kemalangan adalah ketika kita mulai menganggapnya wajar.

Jadi, pertanyaannya bukan apakah 2026 akan lebih baik. Pertanyaannya adalah: apakah kita akan lebih berani? Berani menolak menjadi Sisypus yang pasrah. Berani mengajak orang lain ikut mendorong batu. Berani membuka jalan baru ketika jalur lama membuat kaki melepuh. Batu itu mungkin tetap berat, tetapi manusia memiliki akal, tangan, dan suara.

Jika tahun ini kita hanya merayakan, maka kembang api yang meletup malam ini hanyalah cahaya singkat yang padam tanpa bekas. Tetapi jika kita mengambil sedikit keberanian untuk memperbaiki hidup, mungkin tahun baru tidak sekadar disambut—melainkan dibentuk. Diciptakan. Diubah pelan-pelan dari bawah, seperti bara kecil yang suatu hari bisa menjadi api kompor untuk memasak masa depan.

Dan siapa tahu, pada percobaan kesekian, batu itu akhirnya tidak menggelinding kembali.

Mureks