Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya praktik manipulasi dalam pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2025. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menceritakan pengalaman di mana sebuah pemerintah kabupaten mencoba mengondisikan hasil survei agar terlihat baik.
Kejadian ini, menurut Setyo, terjadi beberapa tahun lalu. Ada instruksi dari atasan di pemerintah daerah tersebut agar seluruh jajarannya memberikan jawaban seragam dalam survei, demi mendongkrak skor integritas.
“Ini ada satu pengalaman di beberapa tahun sebelumnya, salah satu kabupaten itu mengondisikan hasil survei. Jadi sudah ada interupsional,” ujar Setyo saat peluncuran hasil SPI dalam acara puncak peringatan Hakordia 2025 di Kompleks Kepatihan Provinsi DI Yogyakarta, Rabu (9/12/2025).
Ia menjelaskan, para pegawai diinstruksikan untuk memberikan jawaban yang telah diatur sebelumnya. “Di-brief, nanti kalau pertanyaannya A jawabannya A plus. Kalau pertanyaan B jawabannya B minus, dan seterusnya. Akhirnya skornya bagus. Tapi kami memiliki alat ada tool yang bisa mengukur ini kira-kira benar apa nggak,” jelasnya.
KPK Punya Alat Pendeteksi Kecurangan
Meskipun tidak menyebutkan nama daerah yang dimaksud, Setyo menekankan bahwa praktik tersebut berhasil dideteksi oleh KPK. Ia berharap pemerintah daerah lain tidak meniru perbuatan tersebut.
“Saya tidak akan sebutkan daerahnya. Mohon maaf ya itu hanya untuk konsumsi kami saja. Tapi setidaknya saya sampaikan dalam forum terbuka dengan harapan bahwa yang lain tidak meniru dan melakukan hal seperti itu,” tegasnya.
Setyo menambahkan, KPK memiliki metode dan alat yang canggih untuk mendeteksi kecurangan dalam survei. Pendeteksian dilakukan tidak hanya berdasarkan jawaban responden, tetapi juga melalui pemeriksaan dokumen dan analisis mendalam.
“Jadi kami cari datanya apa semua. Kemudian, ahli termasuk juga aparat penegak hukum. Termasuk juga para auditor, pemeriksa. Nah dari situ bukan hanya sekadar hasil, tapi dokumen juga kami pelajari,” paparnya.
Proses ini memungkinkan KPK untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian antara data yang diperiksa, dokumen yang ada, dengan kondisi riil di lapangan. “Nah dari situlah kemudian ketahuan, mana-mana yang nggak sesuai. Antara kenyataan, dokumen yang diperiksa, dengan kondisi real yang ada di lapangan,” tutupnya.






