Jauh sebelum hiruk pikuk kota Jakarta terbangun, seorang tukang sapu telah memulai harinya. Dalam kegelapan yang perlahan memudar, sapu lidinya bergesekan dengan aspal, menciptakan ritme “srek… srek… srek” yang menjadi melodi pembuka hari. Suara itu mengawali aktivitas, jauh sebelum klakson memekik, motor melaju, atau pintu-pintu toko berderit dibuka.
Pagi yang Sunyi dan Doa Tulus
Di tengah kesunyian pagi, ia memanjatkan doa-doa sederhana. “Semoga hari ini aku diberi kekuatan. Semoga jalanannya tidak terlalu kotor. Semoga hidupku tidak makin berat,” gumamnya pelan. Doa tulus itu keluar dari seseorang yang telah lama terbiasa menghadapi hidup sendirian, sebuah refleksi dari ketahanan yang tak terlihat.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Bagi sebagian besar orang yang melintas, pekerjaannya mungkin terlihat biasa saja. Namun, Mureks mencatat, di balik setiap sapuan itu tersimpan cerita panjang tentang bagaimana ia bertahan hidup. Ia tak pernah bercerita pada siapa pun, tak pernah meminta pujian. Ia terus bekerja, karena hidupnya memang tak pernah memberi kesempatan untuk beristirahat.
Fajar baru menyingsing, namun benaknya sudah dipenuhi berbagai beban: uang kontrakan, biaya sekolah anak, hingga harga beras yang terus merangkak naik. Di tengah semua tekanan itu, ia masih sempat berdoa. “Ya Tuhan, kalau memang tak bisa dimudahkan, kuatkan saja aku menghadapinya,” ucapnya dalam hati.
Ketahanan di Tengah Kerasnya Hidup
Ia berhenti sejenak, matanya tertuju pada tumpukan sampah di pinggir jalan. Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin menjijikkan. Namun baginya, itu adalah bagian dari pekerjaan yang harus tuntas. Tak pernah ada pujian ketika jalan kembali bersih, tetapi ia tetap merasa bangga. Setidaknya, ada satu hal yang bisa ia kendalikan—merapikan jalanan—meski hidupnya sendiri tak pernah tertata rapi.
Saat fajar mulai menyingsing sempurna, ia mengusap keringat yang membasahi dahinya. Tangannya gemetar, entah karena lelah atau dinginnya udara pagi. Namun, senyum tipis tetap terukir di wajahnya. Senyum seorang yang telah lelah melawan takdir, dan memilih untuk menerimanya dengan lapang dada.
“Ya Allah, selamatkanlah yang lewat di jalan ini,” gumamnya pelan. Sebuah doa yang ditujukan untuk orang-orang asing: para pekerja kantoran yang sibuk mengejar waktu, pedagang kecil, hingga mereka yang pulang terlambat. Ia mendoakan mereka semua, meski tak seorang pun tahu ada yang mendoakan mereka pagi itu.
Motor-motor mulai melintas, menerbangkan debu kembali. Ia tidak marah. Hanya tersenyum sambil bergumam, “Ya sudahlah, namanya juga hidup.” Kalimat itu seolah menjadi obat penenang untuk segala hal yang tak bisa ia pahami dalam kehidupannya.
Makna di Balik Setiap Langkah
Ia melangkah lagi, berpindah dari satu sudut ke sudut lain. Kotoran di jalanan bukan beban baginya. Justru ia bersyukur. Pekerjaan ini membuatnya merasa masih berarti—meski tak seorang pun peduli atau memperhatikannya.
Matahari kini telah naik sepenuhnya. Kota mulai bangun dan ramai. Trotoar dipenuhi orang-orang—ada yang sibuk menatap ponsel, ada yang berjalan cepat tanpa melihat kanan-kiri. Sang tukang sapu bergeser sedikit, memberi jalan agar tidak menghalangi. Ia memperhatikan mereka sejenak, lalu menarik napas panjang. Tidak ada rasa iri, tidak ada kemarahan—ia hanya paham bahwa setiap orang punya jalannya sendiri.
Tak ada tepuk tangan saat ia selesai. Tak ada yang tahu betapa lelahnya ia. Namun, satu hal membuatnya tetap kuat: ia yakin bahwa kebaikan kecil tetap berarti, meski tak ada yang memuji.
Di akhir pekerjaannya, ia berdoa lagi. Kali ini lebih pelan, lebih dalam. “Terima kasih, hari ini aku masih bisa bekerja. Jaga keluargaku. Jaga orang-orang yang kutemui. Bersihkan hatiku dari segala yang membuatku sesak.”
Doanya mungkin tak terdengar siapa-siapa, namun tetap melayang ke langit pagi. Ia berjalan pulang dengan langkah sederhana seperti tadi pagi—tidak tergesa, tidak banyak berharap. Hanya percaya bahwa esok ia akan kembali dengan doa yang sama, dengan hati yang terus belajar untuk kuat. Karena begitulah hidup seorang tukang sapu: bekerja dalam diam, berdoa dalam sunyi, dan mencintai kota yang bahkan tidak sempat mengenalnya.






