Keuangan

Kisah Inspiratif Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Terkaya yang Tak Ragu Berbagi Harta Rp30 Miliar untuk Rakyat

Advertisement

Saat kondisi ekonomi bangsa tengah terpuruk akibat Agresi Militer Belanda pada tahun 1947, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menunjukkan kedermawanan yang luar biasa. Raja sekaligus orang terkaya di Indonesia kala itu, rela mengeluarkan harta pribadinya demi meringankan penderitaan rakyat Yogyakarta yang hidup dalam kemiskinan.

Kedermawanan Sang Raja di Tengah Kesulitan Bangsa

Meskipun jumlah pasti kekayaannya tidak tercatat secara rinci, sejarah mengenang Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai sosok yang sangat dermawan, seringkali menyalurkan hartanya untuk kepentingan rakyat. Kekayaan Sri Sultan tak terlepas dari warisan dan sistem feodalisme kerajaan di daerah tersebut.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Pada awal kemerdekaan, ia menyumbangkan uang sebesar 6,5 juta gulden kepada pemerintah dan 5 juta gulden untuk rakyat yang menderita. Nominal tersebut, jika dikonversi ke masa sekarang, setara dengan Rp 20-30 miliar.

Kesederhanaan yang Tak Terlupakan: Dari Es Gerobak hingga Jadi Sopir Truk

Meski bergelimang harta dan hidup dalam kehormatan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak terlena. Banyak catatan merekam kebiasaannya yang jauh dari sikap pamer harta. Dalam buku Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX (1982), ia tercatat pernah membeli es gerobakan di pinggir jalan depan Stasiun Klender, Jakarta, pada tahun 1946. Kala itu, cuaca sangat panas dan Sultan membutuhkan minuman segar. Ia bisa saja pergi ke restoran, namun memilih untuk menikmati es di pinggir jalan.

Advertisement

Selain itu, Sri Sultan juga pernah menjadi sopir truk pengangkut beras. Kisah ini bermula ketika Sri Sultan mengendarai truk Land Rover miliknya dari pedesaan menuju pusat kota. Di tengah perjalanan, ia dihentikan oleh seorang perempuan penjual beras. Perempuan itu ingin ikut serta ke pasar di kota, bahkan langsung meminta sopir untuk membantunya mengangkut beras ke dalam truk. Semua terjadi begitu saja tanpa perempuan itu mengetahui bahwa orang yang ditumpanginya adalah Raja Jawa.

Sri Sultan lantas langsung menurut dan mengangkat dua karung besar ke truk. Dalam otobiografi Pranoto Reksosamodra berjudul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra (2015) diceritakan, selama perjalanan penjual beras dan Sri Sultan asyik mengobrol tanpa tahu obrolan berlangsung bersama penguasa nomor satu. Saat tiba di pasar, Sri Sultan juga bertugas layaknya sopir pada umumnya, yakni menurunkan karung tersebut. Kemudian, si penjual beras memberikan upah.

Namun, Sri Sultan dengan sopan menolak pemberian dan mengembalikan uang tersebut. Penjual beras malah bersikap reaksioner. Dia marah dan merasa tersinggung sebab mengira sopir truk tak mau menerima uang karena nominalnya terlalu sedikit. Sri Sultan segera pergi meninggalkan penjual beras. Sementara perempuan itu masih tak menerima penolakan dan memandang sopir tersebut sombong tak butuh uang. Dengan mulut terus-terusan menggerutu, ada orang yang akhirnya memberitahu penjual beras bahwa sebenarnya sopir truk yang dimarahi habis-habisan adalah Sultan Hamengkubuwana IX. Saat mendengar ini, penjual beras itu kaget dan pingsan hingga dibawa ke rumah sakit. Kejadian tersebut lantas terdengar ke telinga Sri Sultan. Seketika, Sultan langsung memacu kendaraannya ke rumah sakit dan menjenguk penjual beras tersebut.

Advertisement
Mureks