Nasional

Ketika Kebaikan Tanpa Batas Berujung Kelelahan Emosional: Pentingnya Menyesuaikan Porsi Diri

Banyak individu merasa lelah bukan semata karena kesibukan, melainkan karena terlalu sering berupaya menjadi sosok yang baik bagi semua orang. Fenomena ini terjadi lantaran otak cenderung mengasosiasikan kebaikan dengan penerimaan, padahal realitas interaksi sosial tidak selalu berjalan demikian.

Mengapa Kebaikan Berlebihan Justru Menguras Energi?

Pernahkah Anda merasa telah banyak membantu, mengalah, atau memahami, namun respons yang diterima justru biasa saja? Atau, kebaikan yang Anda berikan perlahan berubah menjadi sebuah kewajiban di mata orang lain? Berbuat baik memang merupakan tindakan mulia, namun tanpa batasan yang jelas, hal tersebut dapat berubah menjadi sumber kelelahan emosional yang signifikan.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Dalam interaksi langsung, kita sebenarnya dapat mengamati respons orang lain terhadap kebaikan kita, apakah mereka menghargai atau justru memanfaatkannya. Namun, seringkali kita memilih untuk mengabaikan tanda-tanda tersebut demi menjaga stabilitas hubungan. Inilah mengapa kebaikan yang terus-menerus diberikan tanpa porsi yang tepat pada akhirnya terasa hambar, bahkan dapat menimbulkan rasa sakit.

Harapan yang Tak Terpenuhi Saat Berbuat Baik

Ketika seseorang berbuat baik, otak secara otomatis menanamkan harapan. Harapan ini tidak selalu berupa balasan yang setara, namun setidaknya berupa pengertian atau rasa dihargai. Ketika harapan tersebut tidak terpenuhi, seringkali muncul rasa kecewa yang sulit untuk dijelaskan.

Terlebih jika seseorang sedang dalam kondisi lelah atau sensitif, kebaikan yang tidak dihargai dapat terasa seperti penolakan. Padahal, bisa jadi orang lain tidak pernah meminta kebaikan sebanyak itu sejak awal.

Setiap Individu Membutuhkan Kebaikan yang Berbeda

Tidak semua orang membutuhkan jenis atau kadar kebaikan yang sama. Ada individu yang cukup dibantu sekali, ada yang memerlukan arahan, dan ada pula yang justru merasa nyaman jika kita menjaga jarak. Memberikan kebaikan tanpa membaca situasi atau kebutuhan seringkali membuat upaya kita menjadi salah sasaran.

Esensi kebaikan sejati bukan terletak pada seberapa banyak yang kita berikan, melainkan seberapa tepat kita menempatkannya dalam konteks yang sesuai.

Menetapkan Batasan Sebagai Bentuk Kebaikan Diri

Banyak orang merasa takut dicap egois ketika mulai mengatakan “cukup” atau menetapkan batasan. Padahal, menetapkan batasan bukanlah berarti berhenti peduli. Ini adalah cara fundamental untuk menjaga diri agar tetap utuh dan tidak kehabisan energi. Dua orang bisa sama-sama baik, namun dengan porsi yang berbeda. Satu individu tahu kapan harus berhenti, sementara yang lain terus memberi hingga dirinya sendiri merasa lelah.

Menyesuaikan Porsi Kebaikan, Bukan Berharap Orang Lain Berubah

Alih-alih berharap orang lain berubah karena kebaikan yang kita berikan, akan jauh lebih sehat jika kita menyesuaikan porsi kebaikan kita sendiri. Jika seseorang terbiasa menuntut, kebaikan tanpa batas hanya akan memperkuat kebiasaan tersebut.

Dengan memahami sifat dan karakter orang lain, kita dapat menentukan seberapa jauh harus peduli tanpa harus mengorbankan diri sendiri secara emosional. Kebaikan yang dewasa bukanlah tentang selalu mengalah, melainkan tentang tahu kapan harus memberi dan kapan harus berhenti. Kebaikan yang memiliki porsi justru akan lebih tahan lama dan tidak menyisakan luka.

Oleh karena itu, berbuat baiklah dengan bijak. Karena kebaikan itu ada porsinya; terlalu sedikit dapat membuat hubungan menjadi dingin, namun terlalu banyak justru dapat melukai diri sendiri.

Mureks