Setiap penghujung tahun, pesisir utara Jakarta selalu dihadapkan pada periode paling menantang bagi para nelayan kecil: musim angin baratan. Pada masa ini, angin kencang, hujan lebat, dan gelombang tinggi mengubah laut yang semula menjadi sumber penghidupan, kini menjadi ancaman serius bagi keselamatan mereka.
Fenomena alam tahunan ini mungkin dianggap biasa oleh masyarakat perkotaan. Namun, bagi ribuan nelayan, musim angin barat adalah penanda dimulainya krisis ekonomi berulang dan ujian berat untuk bertahan hidup.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Laut Berubah Ancaman, Penghasilan Terhenti
Musim angin baratan, yang biasanya berlangsung sekitar bulan November hingga Februari, membawa serta gelombang tinggi, hujan deras, dan angin kencang. Kondisi ekstrem ini kerap memaksa nelayan kecil di sejumlah wilayah Jakarta, seperti Muara Angke, Kalibaru, hingga Marunda, untuk menambatkan perahu mereka di darat.
Melaut bukan lagi pilihan rasional, melainkan sebuah pertaruhan nyawa yang berisiko tinggi. Akibatnya, banyak nelayan kecil terpaksa bertahan di darat. Ketika perahu tidak berangkat dan jaring disimpan, penghasilan mereka otomatis terhenti. Nelayan harian, yang sangat bergantung pada hasil tangkapan setiap hari, jarang memiliki tabungan memadai untuk bertahan selama berminggu-minggu tanpa melaut.
Ironi kehidupan nelayan Jakarta semakin terlihat jelas: mereka tinggal di kota metropolitan, namun hidup dalam ketidakpastian ekonomi yang ekstrem. Hasil tangkapan nelayan kecil cenderung dihabiskan dan jarang dikelola sebagai tabungan. Pola pikir ini terbentuk karena kemudahan mencari uang dari hasil tangkapan ikan saat musim angin timur.
Strategi Bertahan yang Tak Cukup
Selama musim angin barat, sebagian nelayan terpaksa beralih pekerjaan sementara waktu. Mereka mencoba menjadi buruh bongkar muat, pengemudi ojek, atau pekerja serabutan lainnya. Namun, pilihan ini tidak selalu tersedia, terutama bagi nelayan lanjut usia yang tidak terbiasa bekerja di darat.
Bagi nelayan harian, tidak ada konsep gaji bulanan atau cadangan penghasilan. Ketika cuaca memaksa mereka tinggal di darat, beban ekonomi keluarga langsung terasa. Biaya dapur, kebutuhan sekolah anak, dan cicilan tetap berjalan, sementara pemasukan nihil. Di beberapa keluarga nelayan, peran istri menjadi penyangga ekonomi dengan berjualan kecil-kecilan atau bekerja di sektor informal lainnya. Namun, strategi bertahan ini jelas tidak cukup untuk menutupi biaya hidup keluarga selama suami tidak melaut.
Kerentanan Struktural dan Perubahan Iklim
Musim angin baratan bukan hanya soal cuaca buruk, melainkan juga potret kerentanan struktural yang dihadapi nelayan kecil. Hingga saat ini, belum ada skema perlindungan pendapatan yang memadai saat mereka tidak bisa melaut. Situasi ini diperparah karena beberapa nelayan kecil belum memiliki perlindungan sosial yang memadai.
Jika pun ada, perlindungan terhadap nelayan kecil belum menjangkau semua lini, sementara bantuan sosial kerap bersifat umum dan belum mempertimbangkan siklus musiman yang berulang setiap tahun. Di sisi lain, perubahan iklim memperparah situasi. Angin baratan kini terasa lebih panjang dan tidak menentu. Pola cuaca yang sulit diprediksi membuat nelayan semakin kesulitan menentukan waktu yang aman untuk melaut. Pengetahuan tradisional nelayan yang selama ini menjadi pegangan mulai kehilangan kepastian.
Fokus Kebijakan yang Belum Adaptif
Meskipun musim angin barat adalah peristiwa yang berulang setiap tahun, respons kebijakan pemerintah masih terlalu fokus pada produktivitas dan alat tangkap, bukan pada ketahanan hidup nelayan. Nelayan sering diposisikan semata sebagai aktor ekonomi, bukan kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan adaptif terhadap risiko iklim dan musim.
Skema perlindungan sosial belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko musiman dan kerentanan spesifik nelayan pesisir perkotaan seperti di Jakarta. Pada dasarnya, nelayan adalah pekerja informal yang sangat rentan terhadap guncangan eksternal, terutama cuaca ekstrem. Namun dalam praktiknya, mereka kerap belum terintegrasi secara memadai dalam sistem perlindungan sosial. Ketika tidak melaut karena faktor keselamatan, kondisi ini sering kali tidak diakui sebagai dasar kehilangan pendapatan yang layak mendapatkan perlindungan.
Situasi ini menjadi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan perubahan iklim. Musim angin barat berpotensi berlangsung lebih lama dan sulit diprediksi, sehingga memperpanjang periode nelayan tidak bisa melaut. Tanpa intervensi kebijakan yang adaptif, kerentanan nelayan akan semakin dalam dan berulang dari tahun ke tahun.
Negara Harus Hadir Melindungi
Bagi nelayan Jakarta, angin barat bukan sekadar hembusan alam, melainkan juga pengingat tahunan bahwa hidup di laut selalu penuh risiko. Kehadiran negara sangat menentukan apakah mereka bisa bertahan atau tenggelam seiring waktu.
Musim angin baratan seharusnya menjadi pengingat bahwa pembangunan pesisir tidak cukup dengan infrastruktur pelabuhan atau reklamasi semata. Negara perlu hadir melalui skema perlindungan sosial adaptif dan ketahanan ekonomi masyarakat pesisir. Diperlukan skema perlindungan sosial yang berbasis musim dan risiko iklim, seperti bantuan pendapatan sementara saat nelayan tidak dapat melaut, program padat karya pesisir, diversifikasi mata pencarian, pelatihan manajemen keuangan kepada nelayan, dan akses pekerjaan alternatif yang layak selama periode cuaca ekstrem.
Musim angin barat akan selalu datang setiap tahun. Nelayan akan terus dihadapkan pada pilihan sulit antara melaut dan keselamatan. Oleh karena itu, negara seharusnya hadir untuk melindungi dan menjamin kehidupan yang layak bagi mereka, tidak membiarkan mereka bertahan sendirian.





