Nasional

Kesibukan Berlebihan Mengikis Empati dan Makna Hidup Manusia Modern

Kesibukan sering kali dianggap sebagai tolok ukur produktivitas dan keberhasilan di era modern. Kalender yang padat, notifikasi yang tak henti, serta target yang terus bertambah menjadi simbol kehidupan yang dinamis dan “maju”.

Namun, di balik ritme serba cepat ini, muncul sebuah fenomena yang jarang disadari: manusia menjadi terlalu sibuk hingga melupakan esensi kemanusiaannya. Kesibukan tidak lagi sekadar aktivitas, melainkan identitas yang perlahan mengikis kesadaran, empati, dan makna hidup.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Kesibukan sebagai Standar Sosial Baru

Di tengah hiruk pikuk perkotaan, sibuk bukan lagi pilihan, melainkan tuntutan sosial yang kuat. Individu yang memiliki waktu luang kerap dicap malas atau kurang ambisius, menciptakan standar bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa padat aktivitasnya.

Ungkapan “lagi sibuk” bahkan menjadi jawaban otomatis atas berbagai ajakan interaksi. Akibatnya, waktu untuk refleksi diri, beristirahat, dan membangun relasi manusiawi yang mendalam semakin terpinggirkan.

Produktif tetapi Kehilangan Kesadaran Diri

Kesibukan yang berlebihan sering kali mendorong manusia untuk bergerak secara mekanis. Aktivitas dilakukan berulang-ulang tanpa sempat dipahami maknanya atau direnungkan tujuannya.

Manusia bangun pagi dengan agenda padat, bekerja mengejar target, lalu tidur dalam kelelahan, hanya untuk mengulang siklus yang sama keesokan harinya. Dalam kondisi ini, manusia memang produktif, tetapi secara perlahan kehilangan kesadaran diri, membuat pertanyaan sederhana seperti “untuk apa semua ini?” jarang mendapat ruang untuk dijawab.

Matinya Kepekaan dan Empati

Ketika kesibukan menjadi pusat kehidupan, hubungan antarmanusia turut terdampak secara signifikan. Percakapan mendalam sering kali digantikan oleh pesan singkat, sementara pertemuan bermakna dikalahkan oleh jadwal yang padat.

Kesibukan kerap dijadikan alasan untuk tidak mendengarkan, tidak memahami, bahkan tidak peduli terhadap sesama. Perlahan, empati melemah karena manusia terlalu fokus pada urusan masing-masing, ironisnya justru menimbulkan rasa kesepian di tengah keramaian aktivitas.

Kesibukan sebagai Pelarian

Tidak sedikit individu yang menjadikan kesibukan sebagai cara untuk melarikan diri dari kekosongan batin. Dengan terus menyibukkan diri, manusia tidak perlu berhadapan dengan rasa cemas, keraguan, atau pertanyaan eksistensial tentang hidupnya.

Kesibukan menjadi tameng agar tidak perlu berhenti dan merenung. Namun, pelarian ini bersifat sementara, sebab ketika kesibukan berhenti, kekosongan itu akan kembali muncul, bahkan dengan intensitas yang lebih besar.

Menjadi Manusia di Tengah Kesibukan

Menjadi manusia sejatinya bukan hanya tentang bekerja dan mencapai target, melainkan juga tentang merasa, memahami, dan menyadari keberadaan diri serta orang lain. Kesibukan tidaklah salah, selama tidak menghilangkan ruang untuk refleksi dan kemanusiaan.

Manusia perlu belajar berhenti sejenak, mendengarkan, dan memberi makna pada setiap hal yang dijalani. Dengan demikian, kesibukan tidak lagi menjadi penjara, melainkan bagian dari hidup yang tetap manusiawi. “Being busy” sering kali dibanggakan, tetapi jarang dipertanyakan. Padahal, tanpa kesadaran dan keseimbangan, kesibukan dapat menjauhkan manusia dari hakikat dirinya sendiri. Di tengah dunia yang bergerak cepat, tantangan terbesar manusia bukanlah bagaimana menjadi lebih sibuk, melainkan bagaimana tetap menjadi manusia.

Mureks