Setiap memasuki tahun ajaran baru, perdebatan klasik mengenai tipe mahasiswa kembali mengemuka di berbagai forum, mulai dari tongkrongan kampus hingga lini masa media sosial. Diskusi ini kerap mempertanyakan: mana yang lebih baik, menjadi mahasiswa aktif organisasi yang dijuluki “Kura-Kura” atau mahasiswa yang fokus pada akademik lalu langsung pulang, yang dikenal sebagai “Kupu-Kupu”?
Stigma yang berkembang di masyarakat seringkali menempatkan mahasiswa “Kura-Kura” sebagai calon pemimpin masa depan, sementara mahasiswa “Kupu-Kupu” kerap dicap pasif dan kurang memiliki jejaring sosial. Namun, di tengah pesatnya perkembangan era digital dan dinamika dunia kerja yang terus berubah, label-label tersebut mulai kehilangan relevansinya.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Sebagai seorang mahasiswa Manajemen, fenomena ini tidak dapat dipandang secara hitam-putih. Lebih dari sekadar pilihan, ini adalah strategi dalam mengelola “aset” waktu yang dimiliki setiap individu mahasiswa.
Mitos “Si Paling Sibuk” (Kura-Kura)
Keterlibatan aktif dalam organisasi memang menawarkan kesempatan berharga untuk melatih kepemimpinan dan membangun jaringan. Namun, perlu diwaspadai agar tidak terjebak dalam ilusi produktivitas semata. Tidak sedikit mahasiswa yang menghabiskan waktu hingga larut malam untuk rapat, namun pada akhirnya mengalami penurunan nilai akademik. Ironisnya, soft skill yang diharapkan berkembang pun tidak signifikan karena mereka cenderung menjadi “pengikut” atau follower dalam organisasi, bukan inisiator perubahan.
Departemen Sumber Daya Manusia (HRD) saat ini tidak lagi hanya terpukau dengan tebalnya daftar pengalaman organisasi. Mereka lebih mencari dampak nyata yang telah diciptakan oleh calon karyawan. Jika kesibukan berorganisasi hanya menjadi pelarian dari tanggung jawab kuliah, hal itu lebih tepat disebut sebagai mismanajemen prioritas.
Kekuatan Tersembunyi Mahasiswa Kupu-Kupu
Di sisi lain, mahasiswa “Kupu-Kupu” seringkali diremehkan. Padahal, “pulang” setelah kuliah tidak selalu berarti berdiam diri. Banyak dari mereka yang memanfaatkan waktu luang untuk membangun portofolio pribadi yang kuat. Beberapa di antaranya mengambil kursus coding, menekuni profesi freelancer, atau bahkan merintis bisnis kecil-kecilan dari kamar kos mereka.
Tipe mahasiswa ini cenderung fokus pada pengembangan hard skill yang spesifik dan relevan dengan kebutuhan industri. Di dunia kerja yang semakin mengedepankan keahlian (skill-based), mahasiswa “Kupu-Kupu” justru seringkali lebih siap karena mereka memiliki bukti konkret berupa portofolio karya nyata, bukan sekadar catatan pengalaman rapat.
Jalan Tengah: Jadilah Mahasiswa “Kuda-Kuda”
Daripada terus berdebat memilih kubu, mengapa tidak mencari jalan tengah? Keseimbangan adalah kunci. Dunia kerja modern membutuhkan kombinasi antara soft skill, seperti kemampuan komunikasi dan kerja tim yang umumnya didapat dari organisasi, serta hard skill dan kedisiplinan yang menjadi ciri khas mahasiswa fokus akademik.
Kesiapan kerja seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh seberapa sering ia pulang malam dari kampus. Lebih dari itu, kesiapan kerja ditentukan oleh seberapa baik seseorang mengenal potensi dirinya, seberapa disiplin ia mengasah kemampuan tersebut, dan seberapa adaptif ia terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan profesional.
Oleh karena itu, baik Anda seorang “Kura-Kura” maupun “Kupu-Kupu”, jika mentalitas yang dianut hanya “mengalir seperti air” tanpa tujuan yang jelas, keduanya berpotensi sama-sama hanyut dalam persaingan. Penting untuk memilih jalur yang sesuai, dan bertanggung jawab penuh atas setiap pilihan yang diambil.






