Pengadilan Negeri Bojonegoro menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Sujito (66), terdakwa kasus pembacokan dua jemaah salat subuh hingga tewas di Musala Al Manar, Desa Kedungadem, Bojonegoro. Putusan ini dibacakan pada 11 Desember 2025, setelah Sujito terbukti melakukan pembunuhan berencana dan penganiayaan berat.
Kronologi Pembacokan di Musala
Insiden berdarah itu terjadi pada Selasa, 29 April 2025, sekitar pukul 04.10 WIB. Sujito, yang saat itu berusia 66 tahun, mendatangi Musala Al Manar dengan membawa sebilah golok yang diselipkan dalam sajadahnya. Ia memang telah merencanakan untuk menyerang dua tetangganya, Abdul Azis (63) dan Cipto Rahayu (60), yang juga akan menunaikan salat subuh berjemaah.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Terdakwa sudah melihat korban Abdul Azis yang berada di ujung kiri jemaah dan korban H. Cipto Rahayu berada di sebelah ujung kanan dari jemaah salat subuh tersebut,” demikian dikutip dari situs PN Bojonegoro.
Sujito kemudian mengeluarkan goloknya dan langsung menyerang Abdul Azis ke arah kepala. Setelah Abdul Azis tersungkur, ia beralih menyerang Cipto Rahayu, juga ke arah kepala. Melihat Abdul Azis masih bergerak, Sujito kembali menyerangnya. Ia lalu kembali ke arah Cipto Rahayu untuk melancarkan serangan lanjutan.
Tak hanya itu, Sujito juga menyerang Arik Wijayanti, istri Abdul Azis, yang berusaha menolong suaminya. Arik mengalami luka di bagian kepala dan lengan.
Akibat serangan brutal tersebut, Abdul Azis meninggal dunia di lokasi kejadian. Sementara itu, Cipto Rahayu sempat dirawat intensif namun menghembuskan napas terakhir pada 5 Mei 2025. Arik Wijayanti berhasil selamat meski mengalami luka serius.
Motif Sakit Hati dan Dugaan Mafia Tanah
Berdasarkan dakwaan jaksa, tindakan keji Sujito dilatarbelakangi oleh dua permasalahan utama: dana bantuan anak yatim dan sengketa tanah. Pada November 2024, Sujito yang menanggung dua cucu yatim, menanyakan progres program bantuan kepada Abdul Azis, Ketua RW setempat. Abdul Azis disebut tidak merespons, bahkan Arik Wijayanti disebut memarahi Sujito dengan ucapan, “uang e negoro ae kok bingung”. Kejadian ini menimbulkan rasa sakit hati pada Sujito.
Masalah kedua adalah sengketa tanah antara Sujito dan Cipto Rahayu yang berbatasan. Sujito mempertanyakan pembangunan jalan di atas tanahnya. Ia merasa tidak pernah menghibahkan tanahnya untuk jalan tersebut, namun Cipto Rahayu tidak memberikan kejelasan.
Pada malam sebelum kejadian, Selasa (29/4) dini hari, Sujito menonton berita mengenai mafia tanah di televisi. Ia merasa memiliki masalah serupa dengan Cipto Rahayu. Setelah terbangun untuk salat subuh, ia melihat golok yang sempat digunakannya memotong ranting. Ingatan tentang berita mafia tanah dan masalah dana anak yatim dengan Abdul Azis kembali terlintas. Sujito pun teringat bahwa Abdul Azis dan Cipto Rahayu adalah jemaah rutin di Musala Al-Manar.
“Munculah niat terdakwa untuk menghilangkan nyawa korban Abdul Azis dan korban H. Cipto Rahayu yang mana terdakwa sudah mengetahui pasti yang bersangkutan akan melaksanakan salat subuh berjemaah dengan terdakwa,” bunyi dakwaan. “Kemudian guna melancarkan perbuatan terdakwa terdakwa menyimpan 1 bilah golok tersebut ke dalam 1 buah sajadah yang terdakwa bawa dari rumah kemudian terdakwa segera menuju ke Mushola Al-Manar Desa Kedungadem Kecamatan Kedungadem.”
Pembelaan Terdakwa Ditolak Hakim
Dalam persidangan, Sujito mengakui menonton berita mafia tanah dan merasa pusing serta gelap mata saat kejadian. Ia mengaku tidak ingat niat untuk membunuh, melainkan hanya ingin “memberikan pelajaran”. Ia juga mengaku memukul Abdul Azis dan Cipto Rahayu masing-masing dua kali, serta Arik Wijayanti sekali dengan golok.
“Bahwa ketika kejadian, Terdakwa tidak ingat alasan memukul para korban di bagian kepala yang merupakan organ vital, Terdakwa merasa gelap mata dan pikiran Terdakwa tidak jernih pada saat itu,” demikian pengakuan Sujito yang tertuang dalam salinan putusan.
Namun, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wisnu Widiastuti, dengan anggota Hario Purwo Hantoro dan Achmad Fachrurrozi, menolak pembelaan tersebut. Hakim menilai perbuatan Sujito sangat keji, kejam, dan telah direncanakan dengan saksama. Pengakuan Sujito yang hanya ingin “memberikan pelajaran” dianggap tidak masuk akal.
Mengenai masalah dana anak yatim, Hakim menemukan bahwa cucu Sujito telah menerima bantuan. Satu cucu menerima Rp 1 juta pada 2024, dan kedua cucunya menerima Rp 3 juta pada 2025. Terkait sengketa tanah, saksi menerangkan bahwa jalan tersebut sudah ada sejak lama sebagai fasilitas umum.
“Berdasarkan uraian di atas maka perbuatan Terdakwa menghilangkan nyawa kedua korban (Alm. Abdul Azis dan Alm. Cipto Rahayu) dengan alasan tidak mendapat bantuan anak yatim bagi cucunya dan merasa menjadi korban ‘mafia tanah’ adalah kekejaman yang didasari prasangka Terdakwa sendiri terhadap kedua korban,” tegas Hakim.
Hakim juga menyoroti lokasi dan waktu kejadian. “Majelis memandang bahwa perbuatan Terdakwa tersebut sangatlah kejam dan tanpa rasa takut bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT karena dilakukan di Masjid yang merupakan rumah ibadah/tempat suci dan dilakukan pada kedua korban yang sedang melakukan salat subuh, hal mana telah dirancang dengan saksama oleh Terdakwa dengan cara menyimpan parang/golok di bebatuan arah masjid dan kemudian dibawa Terdakwa dengan cara dibungkus sajadah.”
Hakim menilai Sujito berbelit-belit dalam persidangan dan tidak menunjukkan penyesalan yang tulus. “Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” pungkas Hakim.
Atas dasar pertimbangan memberatkan tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan pidana mati. Saat ini, Sujito diketahui sedang mengajukan banding atas putusan tersebut.






