Ahli kesehatan dari Universitas Indonesia, dr. Ngabila Salama, kembali mengingatkan publik mengenai makna sebenarnya di balik aturan minum obat ‘tiga kali sehari’. Penjelasan ini menjadi relevan di tengah perbincangan warganet yang ramai membahas maksud dosis tersebut di jagat maya.
Menurut dr. Ngabila, aturan minum obat tiga kali sehari tidak sekadar merujuk pada tiga waktu dalam sehari, melainkan memiliki makna ilmiah yang lebih dalam. “Bukan soal jam di dinding, tapi kadar obat di daerah,” tegas Ngabila pada Selasa (30/12/2025).
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Pentingnya Kestabilan Kadar Obat dalam Darah
dr. Ngabila menjelaskan bahwa setiap obat memiliki waktu kerja yang terbatas di dalam tubuh. Setelah dikonsumsi, obat akan diserap masuk ke dalam darah, kemudian bekerja melawan kuman atau infeksi, lalu kadarnya akan menurun karena dimetabolisme oleh hati dan dibuang melalui ginjal.
“Kalau kadarnya turun di bawah batas efektif, obat tidak lagi bekerja. Itu sebabnya minum tiap 8 jam. Tujuannya menjaga kadar obat tetap stabil sepanjang hari,” papar Ngabila.
Kestabilan kadar obat ini krusial karena bakteri atau kuman di dalam tubuh terus berkembang biak setiap jam. Antibiotik, misalnya, tidak membunuh semua bakteri sekaligus. Bakteri yang lemah akan mati lebih dulu, sementara bakteri yang lebih kuat membutuhkan paparan obat secara terus-menerus.
Jika pasien telat atau melewatkan dosis, kadar obat dalam darah akan menurun. Kondisi ini memungkinkan bakteri yang tersisa untuk bangkit kembali, bahkan berpotensi menjadi lebih kebal terhadap obat tersebut.
Konsep Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Secara medis, terdapat konsep penting yang disebut Minimum Inhibitory Concentration (MIC). MIC adalah kadar minimal obat yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh bakteri.
Minum obat setiap 8 jam bertujuan agar kadar obat dalam darah selalu berada di atas MIC, sehingga bakteri tidak memiliki kesempatan untuk pulih dan berkembang biak kembali. dr. Ngabila mencontohkan, jika obat diminum pada jam 8 pagi, lalu jam 2 siang, dan jam 10 malam, ini bukanlah interval 8 jam dan dapat menyebabkan kadar obat turun di sela-sela waktu tersebut.
Mengapa Dosis Dibagi, Bukan Sekali Minum Dosis Besar?
Pembagian dosis menjadi beberapa kali dalam 24 jam juga memiliki alasan medis yang kuat. Mengonsumsi dosis besar sekaligus memang dapat meningkatkan efek samping. Selain itu, dosis besar pun tidak akan bertahan lama dalam tubuh.
Oleh karena itu, lebih aman dan efektif jika dosis dibagi dalam 24 jam. “Ini seperti menyiram api kecil terus-menerus, bukan menyiram banyak di awal lalu dibiarkan,” analogi dr. Ngabila.
Dampak Jika Tidak Teratur Minum Obat
Tidak teraturnya jadwal minum obat dapat menimbulkan berbagai dampak serius secara medis, antara lain:
- Infeksi tidak sembuh sempurna.
- Gejala hilang, namun kuman penyebab infeksi masih ada di dalam tubuh.
- Infeksi dapat kambuh kembali dengan kondisi yang lebih berat.
- Meningkatnya risiko resistensi antibiotik, di mana bakteri menjadi kebal terhadap obat.
- Membutuhkan antibiotik yang lebih keras dan mahal untuk penanganan selanjutnya.
Inilah alasan mengapa dokter sangat menekankan pentingnya kepatuhan terhadap jadwal minum antibiotik.
Tidak Semua Obat Harus Tiap 8 Jam
Meskipun demikian, dr. Ngabila juga menjelaskan bahwa tidak semua obat harus diminum setiap 8 jam. Hal ini karena setiap obat memiliki waktu paruh (half-life) dan cara kerja yang berbeda-beda.
Sebagai contoh:
- Paracetamol umumnya diminum setiap 6–8 jam.
- Amoxicillin memiliki waktu kerja sekitar ±8 jam.
- Azithromycin, di sisi lain, cukup diminum satu kali sehari karena dapat bertahan lama di jaringan tubuh.
Oleh karena itu, penting bagi pasien untuk selalu mengikuti petunjuk dosis dan jadwal yang diberikan oleh dokter atau apoteker.






