Internasional

Jejak Penderitaan di Gaza Sepanjang 2025: Dari Gencatan Senjata Rapuh hingga Kehancuran Ekonomi Total

Jalur Gaza tetap menjadi salah satu pusat ketegangan global yang paling bergejolak sepanjang tahun 2025. Konflik di wilayah tersebut berlangsung dalam irama yang tidak menentu, ditandai dengan gencatan senjata yang rapuh, operasi militer yang berulang, dan krisis kemanusiaan yang terus memburuk.

Perang di Gaza juga bergerak dalam tarik-ulur antara kekuatan militer dan upaya diplomasi. Perundingan damai berulang kali dibuka namun kerap kandas, sementara penderitaan warga sipil terus membayangi setiap dinamika konflik. Di tengah eskalasi ini, kontroversi baru muncul dari Washington ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan wacana mengubah Gaza menjadi kawasan resor futuristik yang ia sebut sebagai “Riviera of the Middle East”, memicu kecaman luas dan menambah kompleksitas konflik yang telah berlarut-larut.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Januari: Gencatan Senjata Memberi Napas Kemanusiaan

Awal tahun 2025 ditandai dengan berlakunya gencatan senjata pada 19 Januari. Kesepakatan ini merupakan hasil mediasi Qatar dan Mesir, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat (AS). Gencatan senjata tersebut menghentikan sementara pertempuran yang telah berlangsung lebih dari setahun, sekaligus membuka ruang bagi penyaluran bantuan kemanusiaan dan pertukaran sandera.

Bagi warga Gaza, jeda ini menghadirkan sedikit kelegaan dari penderitaan berkepanjangan. Keluarga-keluarga yang terpisah akhirnya dapat bertemu kembali, sementara sebagian lainnya bisa memakamkan anggota keluarga yang gugur. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memainkan peran krusial dalam memfasilitasi pemindahan sandera Israel dari Gaza ke otoritas Israel, serta pemindahan tahanan Palestina dari pusat penahanan Israel ke Gaza dan Tepi Barat.

Gencatan senjata juga memungkinkan lonjakan signifikan bantuan kemanusiaan. Sejak awal gencatan hingga 1 Februari, Bulan Sabit Merah Palestina menerima 164 truk bantuan melalui penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom. Bantuan tersebut mencakup makanan, obat-obatan, dan perlengkapan medis yang sangat dibutuhkan setelah sistem layanan publik Gaza hampir runtuh total.

Februari: Pertukaran Sandera Berlanjut, Kontroversi Gaza Riviera Mencuat

Memasuki Februari, gencatan senjata masih bertahan meski penuh ketegangan. Proses pertukaran sandera dan tahanan berlangsung bertahap setiap pekan. Namun, pembebasan sandera oleh Hamas yang dilakukan secara terbuka memicu kritik internasional, sementara tekanan politik di Israel meningkat seiring tuntutan pembebasan seluruh sandera sekaligus.

Di tengah situasi tersebut, Presiden AS Donald Trump kembali menarik perhatian dunia dengan gagasan kontroversialnya. Ia mengusulkan untuk mengubah Gaza menjadi kawasan “Riviera Timur Tengah” atau “Gaza Riviera” pasca-perang, membayangkan wilayah tersebut sebagai pusat ekonomi dan pariwisata regional dengan investasi besar-besaran. Gagasan ini menuai kecaman luas dari negara-negara Arab, organisasi kemanusiaan, dan analis geopolitik, yang menilai rencana tersebut mengabaikan hak rakyat Palestina dan berpotensi membuka jalan bagi pemindahan penduduk secara paksa. Usulan Trump justru menambah ketegangan diplomatik di saat gencatan senjata masih sangat rapuh.

Maret: Gencatan Senjata Runtuh, Perang Kembali Meletus

Harapan damai runtuh pada awal Maret 2025. Negosiasi fase kedua gencatan senjata gagal mencapai kesepakatan, terutama terkait penarikan penuh pasukan Israel dan status sandera yang tersisa. Tekanan politik domestik di Israel, khususnya dari kelompok sayap kanan, mendorong pemerintah untuk kembali mengerahkan kekuatan militer.

Pada 18 Maret 2025, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza, menewaskan ratusan warga Palestina dalam hitungan hari. Pasukan Israel kembali merebut Koridor Netzarim dan membentuk Koridor Morag, yang secara efektif memisahkan Gaza tengah dari wilayah selatan, termasuk Rafah. Israel juga memerintahkan evakuasi massal warga Rafah, memicu gelombang pengungsian baru.

Pada saat yang sama, pengiriman bantuan kemanusiaan kembali ditangguhkan, memperburuk kondisi warga sipil. Gabriel Karlsson, Manajer Klaster Negara Palang Merah Inggris untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, menegaskan, “Tidak ada bantuan, termasuk makanan, obat-obatan, dan perlengkapan kemanusiaan penting, yang masuk ke Gaza.” Ia menambahkan bahwa bantuan yang sebelumnya masuk pun “sudah sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak”.

April: Krisis Kemanusiaan Kian Memburuk

Sepanjang April, dampak penghentian bantuan semakin terasa di seluruh Jalur Gaza. Rumah sakit kehabisan obat-obatan esensial, pasokan listrik hanya menyala beberapa jam sehari, dan akses air bersih semakin terbatas. Banyak fasilitas kesehatan berhenti beroperasi atau hanya mampu memberikan layanan darurat yang sangat minim. Organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang bencana besar, sementara serangan udara dan darat terus berlanjut di berbagai wilayah padat penduduk.

Mei: Lokasi Bantuan Berubah Jadi Titik Korban Massal

Pada Mei, distribusi bantuan dibuka kembali melalui titik-titik tertentu. Namun, situasi justru berubah menjadi tragedi baru. Lebih dari 21 peristiwa korban massal terjadi di sekitar lokasi distribusi bantuan. Balita, remaja, lansia, hingga ibu-ibu termasuk di antara para korban luka. Banyak warga ditembak ketika mempertaruhkan nyawa demi mendapatkan makanan bagi keluarga mereka. Rumah Sakit Lapangan Palang Merah di Rafah kewalahan menangani gelombang pasien dengan luka tembak, di tengah keterbatasan tenaga medis dan pasokan.

Juni: Rumah Sakit Lapangan Al-Mawasi Jadi Penyangga Terakhir

Menanggapi krisis medis yang mendalam, Bulan Sabit Merah Palestina mulai mengoperasikan Rumah Sakit Lapangan Al-Mawasi di barat Khan Younis. Fasilitas ini memiliki 60 tempat tidur, dua ruang operasi, unit gawat darurat, laboratorium, dan unit radiologi. Pada hari pertama operasional, rumah sakit tersebut langsung menerima puluhan pasien dan berhasil melakukan tiga operasi bedah darurat. Kehadiran fasilitas ini menegaskan betapa mendesaknya kebutuhan layanan kesehatan di Gaza yang nyaris lumpuh total.

Juli-Agustus: Kelaparan Capai Tingkat Bencana

Pada Juli, kekurangan gizi mencapai tingkat bencana, terutama di kalangan anak-anak. Tim medis Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan peningkatan tajam kasus malnutrisi akut. Sejak Juli, Rumah Sakit Lapangan Palang Merah di Rafah merawat lebih dari 2.200 pasien dalam satu bulan, sebagian besar akibat luka tembak. Angka ini melampaui total pasien sepanjang tahun 2024.

Puncaknya terjadi pada 22 Agustus 2025, ketika Integrated Food Security Phase Classification (IPC) secara resmi menyatakan bahwa kelaparan sedang berlangsung di Gaza, mengindikasikan situasi pangan yang sangat kritis.

September-Oktober: Upaya Damai dan Gencatan Senjata Baru

Tekanan global akhirnya mendorong perundingan baru pada September. Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar mengusulkan kesepakatan gencatan senjata yang lebih luas, mencakup pembebasan seluruh sandera, penarikan pasukan secara bertahap, serta mekanisme rekonstruksi Gaza.

Pada 10 Oktober 2025, gencatan senjata baru mulai berlaku. Hamas sepakat membebaskan 20 sandera yang masih hidup dan menyerahkan jasad 28 lainnya, sementara Israel melepaskan sekitar 2.000 tahanan Palestina. Sebagian pasukan Israel ditarik, dan 200 personel internasional dikerahkan untuk memantau pelaksanaan kesepakatan. Namun, implementasi kesepakatan berjalan tidak mulus, dengan insiden kekerasan sporadis masih terjadi, termasuk serangan mematikan di Rafah pada akhir Oktober.

November: Ekonomi Gaza Ambruk, PDB Terjun Bebas 83%

Memasuki November, dampak perang berkepanjangan tidak lagi hanya terlihat dari korban jiwa dan kehancuran fisik, tetapi juga dari keruntuhan ekonomi Gaza yang nyaris total. Laporan terbaru Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebut Gaza kini berada di titik “kehancuran ekonomi total”.

UNCTAD mencatat, produk domestik bruto (PDB) Gaza pada 2024 anjlok 83% dibanding tahun sebelumnya, sementara PDB per kapita terperosok menjadi hanya US$161 per tahun, setara kurang dari 50 sen dolar AS per hari. “Situasi ini menempatkan Gaza di antara perekonomian paling terpuruk di dunia,” tulis UNCTAD dalam laporannya. Secara keseluruhan, ukuran ekonomi Gaza kini tinggal 13% dibandingkan level tahun 2022.

Kondisi sosial-ekonomi memburuk drastis: inflasi melonjak 238%, tingkat pengangguran mendekati 80%, dan seluruh 2,3 juta penduduk Gaza jatuh ke bawah garis kemiskinan. UNCTAD menegaskan bahwa operasi militer Israel sejak Oktober 2023 telah menghancurkan fondasi ekonomi Gaza dan menghapus 69 tahun kemajuan pembangunan. Kerusakan fisik juga luar biasa besar, dengan sekitar 70% bangunan di Gaza rusak atau hancur. Untuk membangun kembali wilayah tersebut, dibutuhkan dana sedikitnya US$70 miliar dan waktu pemulihan yang diperkirakan mencapai puluhan tahun, bahkan jika konflik benar-benar berhenti.

Dampak perang juga merembet ke wilayah lain. UNCTAD menyebut Tepi Barat turut terseret ke dalam kontraksi ekonomi terdalam yang pernah tercatat, akibat pembatasan pergerakan, runtuhnya aktivitas usaha, dan ketidakpastian keamanan. Meski gencatan senjata yang ditengahi AS berlaku sejak 10 Oktober, laporan PBB menyebut serangan udara Israel masih terjadi secara sporadis, sementara distribusi bantuan kemanusiaan berjalan lambat. Badan-badan PBB dan mediator regional menilai kondisi kemanusiaan di lapangan tetap “sangat memprihatinkan”.

Desember: Damai Rapuh, Masa Depan Tak Pasti

Memasuki Desember 2025, perang Israel-Hamas telah meninggalkan jejak korban jiwa yang sangat besar. Berdasarkan data otoritas kesehatan Gaza yang banyak dikutip media internasional, total korban tewas sejak konflik pecah pada Oktober 2023 hingga akhir Desember 2025 mencapai sekitar 67.600 hingga lebih dari 70.000 jiwa. Jumlah tersebut mencakup warga sipil dan kombatan, dengan puluhan ribu lainnya mengalami luka-luka serius.

Sejumlah laporan bahkan menyebut angka korban berpotensi lebih tinggi jika kematian tidak langsung akibat kelaparan, penyakit, dan runtuhnya layanan kesehatan turut diperhitungkan. Akses terbatas ke wilayah konflik membuat proses verifikasi independen sulit dilakukan, namun para analis sepakat perang Gaza menjadi salah satu konflik modern dengan tingkat korban sipil tertinggi.

Meski gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat sejak 10 Oktober masih bertahan secara formal, serangan udara sporadis Israel tetap terjadi hingga akhir tahun. Distribusi bantuan kemanusiaan berjalan lambat, sementara jutaan warga Gaza hidup dalam kondisi darurat, tanpa kepastian pemulihan jangka pendek. Dengan lebih dari dua tahun perang, kehancuran fisik, krisis pangan, runtuhnya sistem kesehatan, dan puluhan ribu korban jiwa, Gaza menutup 2025 dalam kondisi yang digambarkan lembaga internasional sebagai krisis kemanusiaan dan pembangunan terdalam dalam sejarah wilayah tersebut.

Mureks