Berita

Jaksa Keberatan, Terdakwa Kasus Minyak Mentah Cecar Saksi soal Profit Pertamina

Advertisement

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan keberatan kepada Majelis Hakim terkait pertanyaan pihak Terdakwa Riva Siahaan yang mencecar saksi mengenai profitabilitas Pertamina Patra Niaga saat dipimpin oleh Riva. Majelis Hakim pun menyetujui agar pembahasan mengenai keuntungan perusahaan tidak terus-menerus diangkat dalam persidangan.

Momen tersebut terjadi dalam sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (11/12/2025). Awalnya, Kuasa Hukum Terdakwa bertanya kepada mantan Manajer Industrialisasi Sales Pertamina Patra Niaga, Samuel Hamonangan, mengenai kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Riva Siahaan.

“Saya mau ke profitabilitas. Profitabilitas, tadi kan banyak dibicarakan. Sederhananya kan untung atau tidak kan, Pak?” tanya Kuasa Hukum Terdakwa. “Betul,” jawab Samuel.

Kuasa Hukum kemudian meminta saksi menjelaskan profitabilitas Pertamina Patra Niaga selama periode Riva Siahaan, Maya, dan Edo. “Coba saksi jelaskan dalam persidangan ini ya, selama periodenya Terdakwa Riva, Maya, dengan Edo, untung nggak PPN?” tanya Kuasa Hukum. “Untung, Pak,” jawab saksi.

Saksi kembali menegaskan bahwa perusahaan untung. “Untung, untung. Kan itu bisa dilihat di media juga, Pak, bahwa PPN itu apalagi di fungsi ini kan kontributor profit terbesar, Pak,” tutur saksi. Ia menambahkan, “Di PPN, terbesar. Iya nanti bisa dicek ke keuangan. Yang saya tahu terbesar, tapi kalau melihat datanya, saya lihat datanya, tapi mungkin nanti dikonfirmasi ke kuangan.”

Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Terdakwa menyatakan keheranannya mengapa kliennya dijadikan terdakwa padahal kondisi Pertamina Patra Niaga dalam keadaan untung. “Jadi supaya kita ulang, jadi kok untung perusahaan gitu ya, kok jadi terdakwa, itu sebenarnya maksudnya, kenapa jadi terdakwa perusahaan baik dan untung, saya kira semua akan mendengar penjelasannya ini,” imbuhnya.

Selanjutnya, Kuasa Hukum membahas mengenai bottom price atau harga terendah minyak sebagai salah satu komponen penentu keuntungan perusahaan. Menurutnya, penentuan bottom price di era Riva sudah tepat dan menguntungkan. “Sebagai referensi ya, pertimbangan untuk menentukan harga. Dalam hal ini ada spot, dan hasilnya untung, seperti yang dikatakan tadi ya?” ujar Kuasa Hukum. “Iya,” timpal saksi.

Advertisement

Saat Kuasa Hukum kembali mengulang pertanyaan soal keuntungan, Jaksa Penuntut Umum langsung menyatakan keberatan. “Keberatan, Yang Mulia, keberatan. Saksi ini kan bukan untuk bagian keuangan atau akuntansi,” tegas Jaksa.

Hakim Ketua menyetujui keberatan Jaksa, menilai Kuasa Hukum Terdakwa telah berulang kali menanyakan hal yang sama. “Satu itu, dua itu kan juga sudah diulang-ulang. Jangan suruh berpendapat diulang-ulang,” kata Hakim Ketua. “Ini supaya tegas saja,” jawab Kuasa Hukum. “Sudah berkali kali ngomong untung, itu pun juga harus dikoreksi dengan melihat data itu,” timpal Hakim Ketua.

Kerugian Negara dalam Kasus Tata Kelola Minyak Mentah

Dalam surat dakwaan, kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini diduga telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 285 triliun. Terdapat dua pokok permasalahan utama yang diidentifikasi:

  • Impor produk kilang atau bahan bakar minyak (BBM).
  • Penjualan solar nonsubsidi.

Berikut rincian perhitungan kerugian negara:

1. Kerugian Keuangan Negara

  • USD 2.732.816.820,63 atau sekitar Rp 45,1 triliun (dengan kurs Rp 16.500 per dolar AS).
  • Rp 25.439.881.674.368,30 atau sekitar Rp 25,4 triliun.
  • Total kerugian keuangan negara mencapai Rp 70.531.359.213.763,30 atau Rp 70,5 triliun.

2. Kerugian Perekonomian Negara

  • Kemahalan dari harga pengadaan BBM yang berdampak pada beban ekonomi sebesar Rp 171.997.835.294.293 atau Rp 172 triliun.
  • Keuntungan ilegal dari selisih harga perolehan impor BBM melebihi kuota dengan harga perolehan minyak mentah dan BBM domestik sebesar USD 2.617.683.340,41 atau sekitar Rp 43,1 triliun (dengan kurs Rp 16.500 per dolar AS).
  • Total kerugian perekonomian negara mencapai Rp 215.189.610.412.058 atau Rp 215,1 triliun.

Secara keseluruhan, total kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp 285.969.625.213.821,30 atau lebih dari Rp 285 triliun. Perlu dicatat bahwa penghitungan ini menggunakan kurs rata-rata saat ini, dan jumlahnya dapat bervariasi jika menggunakan kurs yang berbeda.

Advertisement