Nasional

Inkonsistensi Sikap Amerika Serikat dalam Paris Agreement: Analisis Faktor Politik Domestik dan Ekonomi

Amerika Serikat kembali mengumumkan penarikan diri dari Paris Agreement pada Januari 2025, hanya beberapa bulan setelah Donald Trump kembali dilantik sebagai Presiden. Keputusan ini menambah babak baru dalam dinamika keterlibatan AS dalam perjanjian iklim global yang terus berubah seiring pergantian kepemimpinan nasional.

Pergeseran peran Amerika Serikat yang terjadi secara berulang memunculkan pertanyaan penting mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konsistensi dan arah kebijakan luar negeri AS terhadap isu perubahan iklim.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Paris Agreement, yang disepakati pada tahun 2015 dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP-21) di Paris, menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi lingkungan internasional. Hingga saat ini, perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh 195 negara, menjadikannya perjanjian lingkungan dengan keanggotaan terluas di dunia.

Negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk menyusun dan memperbarui Nationally Determined Contributions (NDC). Dokumen ini memuat target, kebijakan, dan aksi nyata dalam menurunkan emisi gas rumah kaca serta menghadapi dampak perubahan iklim. NDC menjadi instrumen utama dalam upaya bersama mencapai tujuan Paris Agreement, yaitu membatasi laju pemanasan global hingga 1,5°C.

Pada awal pembentukan Paris Agreement, Amerika Serikat memegang peran dominan sebagai lead state atau pemimpin utama. Di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, AS menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung upaya global mengatasi perubahan iklim.

Namun, arah kebijakan ini berubah drastis saat Donald Trump dilantik sebagai presiden pada tahun 2016. Trump memutuskan untuk menarik AS dari Paris Agreement. Keputusan ini menimbulkan dampak signifikan karena AS merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Penarikan tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap efektivitas Paris Agreement dalam menahan laju pemanasan global, serta menurunkan tingkat kepercayaan internasional terhadap komitmen AS dalam menghadapi krisis iklim.

Setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden pada tahun 2020, ia segera mengambil langkah untuk membawa Amerika Serikat kembali bergabung dalam Paris Agreement melalui penandatanganan lembar eksekutif. Di bawah pemerintahannya, Biden menempatkan isu perubahan iklim sebagai prioritas dalam kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional. Ia menggunakan berbagai pendekatan diplomasi, termasuk soft power dan diplomasi lingkungan, untuk menunjukkan komitmen AS dalam menghadapi krisis iklim.

Menariknya, hanya beberapa bulan setelah Donald Trump kembali dilantik sebagai Presiden pada Januari 2025, ia kembali mengumumkan penarikan Amerika Serikat dari Paris Agreement. Keputusan ini menambah babak baru dalam dinamika keterlibatan AS dalam perjanjian iklim tersebut yang terus berubah seiring pergantian kepemimpinan nasional.

Analisis Transformasi Posisi Amerika Serikat Melalui Perspektif Pamela Chasek

Dalam bukunya yang berjudul “Global Environmental Politics”, Pamela Chasek mengidentifikasi beberapa faktor yang menentukan posisi sebuah negara dalam agenda lingkungan global. Faktor-faktor tersebut menentukan apakah sebuah negara akan mengambil posisi Lead, Swing, atau bahkan Veto dalam perjanjian atau konvensi lingkungan internasional. Faktor-faktor tersebut meliputi politik domestik, analisis cost and benefit dari perjanjian lingkungan, pertimbangan diplomasi dan politik internasional, serta pengaruh dari aktor sub-nasional.

Jika menganalisis dinamika perubahan peran yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam agenda Paris Agreement melalui kacamata Pamela Chasek, terlihat tiga faktor utama yang memengaruhi dinamika posisi mereka: pengaruh politik domestik Amerika Serikat, analisis cost and benefit keikutsertaan Amerika, serta pertimbangan citra dan hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan negara lainnya.

Pada awal keterlibatan Amerika Serikat dalam perjanjian ini, AS mengambil peran sebagai lead state. Presiden Barack Obama percaya bahwa langkah tersebut dapat meningkatkan citra baik Amerika Serikat dan menguntungkan secara ekonomi karena akan mendorong perkembangan industri energi terbarukan. Dengan demikian, dua faktor utama yang memengaruhi sikap Amerika Serikat pada waktu itu adalah politik internasional dan analisis cost and benefit.

Sebagai negara adidaya yang memiliki pengaruh besar dalam peta perpolitikan lingkungan global, Barack Obama melihat bahwa keterlibatan Amerika dalam perjanjian iklim global dapat memperkuat pengaruh AS serta menegaskan komitmennya dalam melawan perubahan iklim. Dengan secara aktif memberikan bantuan pendanaan dan transfer teknologi terhadap negara lain melalui skema perjanjian ini, secara tidak langsung dapat memperkuat hubungan diplomasi antara Amerika dan negara-negara lainnya.

Namun, setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden, terjadi perubahan sikap yang signifikan. Amerika yang sebelumnya sebagai lead state, seketika menjadi negara yang menentang Paris Agreement. Penentangan ini membuat Amerika Serikat akhirnya secara resmi mengajukan pengunduran diri dari perjanjian iklim global tersebut.

Trump menilai perjanjian tersebut tidak adil bagi ekonomi Amerika Serikat karena memberikan beban yang terlalu berat, seperti mewajibkan AS sebagai lead state untuk memberikan pendanaan kepada negara berkembang. Selain itu, Trump melihat bahwa perjanjian ini juga memberikan tekanan pada perkembangan industri energi fosil di negaranya, padahal sektor tersebut sangat krusial bagi perekonomian Amerika Serikat.

Dari alasan tersebut, terlihat bagaimana analisis kerugian dan benefit yang dilakukan Trump turut memengaruhi sikap Amerika. Mereka menganggap bahwa walaupun perjanjian ini memberikan benefit terhadap lingkungan, kerugian yang dihasilkan jauh lebih buruk terhadap perekonomian domestik Amerika Serikat.

Selain faktor tersebut, terdapat faktor lainnya yang juga turut memengaruhi keputusan Trump, seperti yang dirumuskan oleh Pamela Chasek, yakni faktor politik domestik. Dinamika politik domestik ini dipengaruhi oleh kepentingan Partai Republik dan pebisnis yang telah mendukung Trump selama masa kampanye. Trump telah mendapatkan bantuan pendanaan yang cukup besar dari para pengusaha di sektor energi, sehingga sejak awal kampanye Trump menjanjikan bahwa Amerika Serikat akan keluar dari perjanjian yang dianggap merugikan secara ekonomi.

Para pemangku kepentingan menilai bahwa keterlibatan Amerika Serikat akan merugikan mereka karena AS harus memperketat regulasi terkait energi fosil dan memaksimalkan transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini juga akan berdampak buruk bagi investasi di sektor energi fosil karena akan membuat para investor memilih negara lain yang lebih mudah secara regulasi. Selain itu, kepentingan ini juga tidak sejalan dengan ideologi politik yang Trump jalankan, yakni “Make America Great Again”. Trump ingin memprioritaskan kepentingan ekonomi negaranya dan memaksimalkan segala sumber daya alam yang dimiliki oleh Amerika Serikat untuk kesejahteraan rakyatnya.

Setelah menjabat pada Januari 2021, keputusan Presiden Joe Biden untuk kembali bergabung dengan Perjanjian Paris menandai perubahan signifikan dalam kebijakan iklim AS. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memposisikan kembali AS dalam diplomasi iklim global dan membangun kembali kredibilitas internasional sebagai pemimpin iklim global, tetapi juga melanjutkan komitmen yang telah dibentuk oleh Presiden Barack Obama.

Upaya Biden ini diperkuat melalui kebijakan domestik seperti Inflation Reduction Act dan Bipartisan Infrastructure Law yang mengalokasikan anggaran besar untuk pengembangan energi bersih, mitigasi iklim, dan penciptaan lapangan kerja hijau. Sebagai kandidat dari Partai Demokrat, Joe Biden melihat bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Trump merugikan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Joe Biden ingin mengembalikan kepercayaan negara lain terhadap kepemimpinan Amerika Serikat, terutama dalam isu lingkungan global.

Namun, dinamika ini kembali diuji dengan terpilihnya kembali Donald Trump pada tahun 2024. Pada Januari 2025, Trump langsung menandatangani perintah eksekutif untuk kembali menarik AS dari Perjanjian Paris. Trump kembali datang dengan argumen yang sama bahwa Perjanjian Paris adalah perjanjian yang diskriminatif dan hanya merugikan perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, kelompok kepentingan kembali menjadi aktor yang turut memengaruhi kebijakan Trump tersebut.

Dari penjelasan dinamika perubahan peran Amerika Serikat tersebut, terlihat bahwa posisi AS cukup dinamis dalam beberapa kepemimpinan presiden. Berbagai faktor seperti politik domestik, analisis cost and benefit, serta politik internasional menjadi variabel signifikan dalam menentukan sikap Amerika Serikat dalam agenda lingkungan global, seperti yang telah dirumuskan oleh Pamela Chasek.

Mureks