Teknologi

IDPRO Proyeksikan Kebutuhan Pusat Data RI Melonjak 45% pada 2026, Dipicu Adopsi AI Massif

Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) memproyeksikan kebutuhan kapasitas pusat data di Indonesia akan melonjak signifikan, mencapai pertumbuhan 35% hingga 45% pada tahun 2026 dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini utamanya didorong oleh masifnya pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) generatif, otomatisasi industri, serta kebutuhan pengolahan data secara real-time.

Ketua IDPRO, Hendra Suryakusuma, menjelaskan bahwa secara lebih spesifik, permintaan daya listrik (power demand) untuk industri pusat data diperkirakan akan meningkat drastis, mencapai 300 hingga 400 megawatt (MW) dalam kurun waktu satu hingga dua tahun ke depan. “Ini didorong oleh permintaan hyperscale dan edge data center yang mendukung aplikasi AI,” kata Hendra saat dihubungi Bisnis, Rabu (31/12/2025).

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Data resmi PT PLN (Persero) sebelumnya mengindikasikan bahwa kapasitas industri pusat data di Indonesia akan mencapai 2,3 gigawatt (GW) pada tahun 2030. Namun, Hendra menilai proyeksi tersebut belum sepenuhnya memperhitungkan faktor penggunaan AI, khususnya server berbasis GPU yang membutuhkan daya per rak (power per rack) sangat besar, bahkan dapat mencapai 135 kilowatt (kW) untuk GPU GB200.

IDPRO mengamati adopsi dan pemanfaatan AI berlangsung secara masif di berbagai sektor, baik swasta maupun publik, yang pada akhirnya akan mendorong lonjakan kebutuhan kapasitas dan kapabilitas pusat data di Indonesia. AI membutuhkan infrastruktur dengan kinerja komputasi tinggi (high performance computing/HPC), latensi rendah, serta kapasitas penyimpanan data berskala besar, terutama untuk keperluan pelatihan (training) model.

Secara umum, infrastruktur pusat data nasional terus berkembang dan menunjukkan kesiapan untuk menopang beban kerja AI, terutama dengan masuknya investor dan operator global, serta ekspansi pemain lokal. “Beberapa anggota IDPRO juga sedang membangun AI ready data center,” tambah Hendra.

Tantangan dan Energi Berkelanjutan

Meski demikian, Hendra mengakui tantangan yang dihadapi masih cukup besar. Tantangan utama meliputi peningkatan kapasitas daya, sistem pendinginan yang efisien, dan konektivitas berlatensi rendah yang esensial bagi beban kerja AI. Menurutnya, sejumlah penyedia layanan pusat data sudah mulai mengadopsi server GPU dan arsitektur khusus untuk AI workload, meskipun implementasinya masih dilakukan secara bertahap.

Kapasitas dan keandalan pusat data di Indonesia saat ini dinilai relatif memadai untuk mendukung tahap awal adopsi AI, namun belum sepenuhnya ideal untuk skala masif. Sebagai perbandingan, proyek pusat data AI berskala besar seperti Stargate di selatan Houston membutuhkan daya dan sistem pendinginan yang jauh lebih tinggi dibandingkan beban kerja konvensional.

Di sisi lain, sejumlah pusat data di Indonesia telah mengantongi sertifikasi Tier III dan Tier IV dengan tingkat uptime tinggi serta redundansi daya yang memadai. Namun, ketersediaan energi bersih dan berkelanjutan (renewable energy) masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagi industri ini.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025, porsi energi terbarukan ditargetkan meningkat hingga 76%, sebuah target yang dinilai menjadi angin segar bagi industri pusat data di Indonesia. Hendra mengungkapkan, pemerintah melalui berbagai inisiatif energi hijau, bersama penyedia pusat data, juga mulai menjajaki skema Power Purchase Agreement (PPA) untuk energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya (solar farm) dan hidro. “Namun implementasinya butuh dukungan regulasi yang lebih progresif. Pertamina Geothermal juga sudah commit untuk menyuplai green energy ke industri DC di tanah air,” pungkas Hendra.

Mureks