Profesi perias jenazah mungkin jarang terdengar di hiruk-pikuk perkotaan, namun di balik kesunyiannya, ia memegang peranan krusial dalam ritual penghormatan terakhir bagi mereka yang telah berpulang. Gloria Elsa Hutasoit (42) adalah salah satu sosok yang memilih jalan ini, melihatnya sebagai bentuk pelayanan kemanusiaan yang mendalam.
Ketertarikan Gloria pada dunia rias sejak muda, ditambah latar belakang sang ibu yang berprofesi sebagai perawat dan aktif dalam pelayanan gereja memandikan jenazah, menjadi fondasi awal baginya. “Saya terjun ke dunia perias jenazah dari muda suka sekali makeup, dan kebetulan mama adalah perawat di RS dan pelayanan di gereja untuk memandikan jenazah,” ungkap Gloria.
Pengalaman pertama yang membentuk jalan hidupnya terjadi pada tahun 2001, saat ia merias jenazah bibinya yang berprofesi sebagai pemulung. Momen itu menumbuhkan kesadaran akan hak setiap insan untuk dipersiapkan dengan layak di momen perpisahan terakhir. “Di situ saya tergerak bahwa pengantin Tuhan berhak dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” tuturnya.
Dedikasi Penuh Pelayanan
Sejak saat itu, Gloria mendalami berbagai teknik pemulasaraan jenazah, mulai dari memandikan hingga merias, sebuah keahlian yang ia asah hingga kini. Ia beroperasi secara mandiri, melayani panggilan dari rumah ke rumah di wilayah DKI Jakarta, bahkan terkadang hingga ke luar kota.
Jadwal kerjanya tak menentu; dalam sehari, ia bisa merias satu hingga tiga jenazah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, motivasinya tetap teguh: membantu mereka yang membutuhkan. “Kalau saya bisa bantu, saya bantu. Saya ingat tante saya, dan banyak orang yang butuh dipersiapkan dengan layak,” ujar Gloria.
Tantangan Unik Profesi
Merias jenazah jelas berbeda dengan merias orang yang masih hidup. Kulit jenazah cenderung lebih keras dan kering, serta seringkali memerlukan upaya rekonstruksi akibat luka, lebam, atau bekas operasi. “Paling menantang itu ketika harus menutup luka-luka, lebam, atau ketika kulit mengalami perubahan warna seperti menghitam dan menguning,” jelas Gloria.
Selain keterampilan teknis, pekerjaan ini menuntut pengendalian emosi yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Gloria menekankan pentingnya menjaga jarak emosional. “Kami boleh simpati, tapi tidak boleh empati. Kami harus tetap fokus mempersiapkan jenazah, bukan terbawa suasana di sekitar,” tegasnya.
Dukungan Keluarga yang Ditinggalkan
Keberadaan perias jenazah terbukti memberikan dukungan emosional yang berarti bagi keluarga yang berduka. Cristiene Maria (38), salah satu pengguna jasa Gloria, menceritakan pengalamannya saat ibunya meninggal.
“Mereka membersihkan wajah Ibu, merapikan rambut, lalu makeup tipis untuk menutup pucat dan lebam. Hasilnya natural,” katanya. Ia merasa biaya sekitar Rp 1,5 juta yang dikeluarkan sangat sepadan dengan pelayanan dan perhatian yang diterima. “Wajah Ibu terlihat damai, seperti sedang tidur. Itu sangat membantu kami menerima keadaan,” ujar Cristiene.
Pandangan Sosiolog
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menyoroti dimensi sosial dari profesi yang dijalani Gloria. Menurutnya, perias jenazah tidak sekadar menjalankan sebuah pekerjaan, melainkan sebuah panggilan hati.
“Semakin langka sebuah pekerjaan, semakin itu menjadi sebuah calling,” ujarnya. Profesi perias jenazah, sebagaimana dijalani oleh Gloria, menampilkan sebuah lapisan kemanusiaan yang seringkali luput dari perhatian. Ia tidak hanya menjaga martabat mereka yang telah berpulang, tetapi juga memberikan ketenangan dan kelegaan bagi keluarga yang ditinggalkan.






