Maraknya kampanye pajak yang menyasar anak muda belakangan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan Generasi Z. Mulai dari sosialisasi di media sosial hingga acara kampus, ajakan untuk ‘melek pajak’ semakin gencar. Namun, bagi sebagian besar Gen Z yang masih berjuang mencari pekerjaan, menggarap proyek freelance, atau menjalani magang dengan pendapatan terbatas, kampanye tersebut terasa kurang relevan dengan realitas hidup mereka.
Survei Populix menunjukkan bahwa 74 persen Gen Z dan milenial memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan dasar seperti makan dan transportasi, disusul cicilan, kursus, atau bahkan habis dalam sepekan. Kondisi ini diperparah dengan penurunan rasio pajak Indonesia menjadi 8,42 persen pada semester I 2025, mendorong pemerintah untuk mencari calon wajib pajak baru dari kalangan muda.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Livia Denaya, seorang mahasiswa yang bekerja sebagai freelancer, menggambarkan ketidakpastian pendapatannya. “Pendapatan per bulannya naik turun… setengah cukup, setengah enggak,” ujarnya. Kondisi ini membuatnya bingung ketika dihadapkan pada isu perpajakan yang terasa jauh dari kesehariannya.
Senada dengan Livia, Aurel, seorang fresh graduate di bidang kreatif, mengakui bahwa hidup dari proyek ke proyek membuatnya rentan. “Dengan pendapatan yang nggak stabil dan masih di bawah UMR, pemotongan buat pajak itu jadi beban,” keluhnya. Ia juga merasa aturan pajak untuk freelancer masih membingungkan, terutama mengenai kapan ia wajib membayar pajak atau memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Batas Usia dan Pendapatan Wajib Pajak
Sherine, seorang accounting assistant di perusahaan konsultan pajak, menjelaskan bahwa seseorang dianggap wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21) jika penghasilannya mencapai Rp4,5 juta per bulan atau Rp54 juta per tahun. Batasan ini dikenal sebagai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Yustinus Prastowo, analis kebijakan publik dan konsultan pajak, mengonfirmasi hal tersebut. “Besaran PTKP yang ditetapkan adalah sebesar Rp54.000.000 per tahun atau setara dengan Rp4.500.000 per bulan… sehingga seseorang dengan penghasilan di bawah batas tersebut tidak dikenakan PPh,” katanya. Ia menambahkan bahwa banyak Gen Z keliru mengira setiap penerimaan uang dari proyek atau endorse otomatis menjadikan mereka wajib pajak.
Kewajiban NPWP dan Kebingungan Literasi Pajak
Mengenai NPWP, Yustinus menjelaskan bahwa kewajiban mendaftar muncul ketika seseorang memenuhi syarat subjektif (status Wajib Pajak orang pribadi) dan syarat objektif (memiliki penghasilan). “Intinya, kalau kamu sudah mulai dapat uang dari kerjaan, kamu masuk kategori yang perlu punya NPWP,” terangnya.
Sherine menambahkan, “Seseorang sebenarnya bisa mendaftarkan NPWP saat sudah memiliki KTP tetapi hal tersebut tidak wajib… namun ketika orang tersebut sudah memiliki penghasilan seperti freelance, part-time… maka dianggap sudah wajib mendaftar NPWP.”
Namun, bahasa teknis perpajakan seperti PTKP, PKP, PPh 21, bukti potong, dan sistem coretax seringkali menimbulkan kebingungan dan kecemasan bagi Gen Z. “Menurut gue, pajak freelance ini nggak ada ketetapannya sendiri… banyak banget jenisnya,” ujar Livia.
Aurel merasa informasi pajak kerap membingungkan. Yustinus Prastowo memaklumi hal ini dan menyebut literasi pajak yang rendah sebagai salah satu masalah terbesar. Ia menekankan pentingnya pemahaman mengenai hak dan kewajiban pajak.
Kendala teknis pada sistem digital seperti coretax yang sering mengalami error juga menambah kerumitan. Sherine berharap sistem tersebut dibenahi agar administrasi pajak berjalan lancar.
Harapan Gen Z untuk Sistem Pajak yang Adil
Generasi Z tidak anti pajak, melainkan menginginkan sistem yang adil, logis, dan relevan dengan realitas hidup mereka yang penuh ketidakpastian. Yustinus Prastowo merekomendasikan beberapa langkah agar sistem pajak lebih mudah dipahami anak muda:
- Edukasi pajak yang sederhana dan mudah diakses.
- Komunikasi yang jelas mengenai manfaat pajak.
- Transparansi penggunaan anggaran negara.
- Digitalisasi yang benar-benar mempermudah.
Livia berharap aturan pajak untuk freelancer menjadi lebih jelas, sementara Aurel menginginkan pajak yang sepadan dengan manfaatnya. Suara-suara ini menunjukkan bahwa Gen Z hanya menginginkan sistem pajak yang masuk akal dan relevan dengan kondisi mereka.
Di tengah ketidakpastian pendapatan dan biaya hidup yang terus meningkat, pertanyaan mendasar Gen Z adalah kapan waktu yang tepat untuk mulai serius memikirkan pajak. Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada pemahaman mereka akan aturan dan relevansinya dengan kondisi finansial saat ini.






