Fraksi PKS MPR RI baru-baru ini menggelar lokakarya di Medan, Sumatera Utara, yang menyoroti kekayaan keberagaman suku dan pentingnya persatuan di wilayah tersebut. Acara yang berlangsung di Hotel Grand Mercure Medan pada Sabtu, 20 Desember 2025, ini menghadirkan sejumlah pakar sejarah dan antropologi untuk mengupas tuntas peran suku-suku dalam mewujudkan persatuan di bawah bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu temuan menarik yang terungkap adalah identitas pendiri Kota Medan, Guru Patimpus Sembiring, yang disebut sebagai seorang muslim, bahkan putranya seorang hafiz Al-Qur’an.
Mengupas Sejarah dan Peran Islam dalam Persatuan
Lokakarya bertajuk ‘Peran Suku-suku di Sumatera Utara dalam Mewujudkan Persatuan di Bawah NKRI’ ini menghadirkan tiga narasumber utama: Guru Besar Sejarah Unimed Prof. Dr. Ichwan Azhari, Guru Besar USU sekaligus sesepuh Karo Prof. Syaad Afifuddin, serta Dosen Antropologi Unimed Dr. Ratih Baiduri. Anggota DPR dari Fraksi PKS, Anshori Siregar dan Ghufran Zainal Abidin, turut hadir bersama 80 peserta dari kalangan perguruan tinggi, mahasiswa sejarah, dan anggota DPRD.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Prof. Dr. Ichwan Azhari, melalui penelitiannya, memaparkan sejarah awal Kota Medan dan masuknya Islam di Sumatera Utara. Ia mengungkapkan bahwa sebelum kedatangan Guru Patimpus, Medan sudah dihuni, bahkan oleh seorang ulama besar bernama Syaikh Syaid Muhammad Ibnu Attahir Al Jufri, atau yang dikenal sebagai Datuk Kuta Bangun.
“Jadi sebelum Guru Patimpus datang, sebenarnya di Medan sudah ada penduduk. Bahkan ada seorang ulama besar Datuk Kuta Bangun, yang nama aslinya adalah Syaikh Syaid Muhammad Ibnu Attahir Al Jufri,” kata Ichwan.
Ichwan melanjutkan, terjadi duel spiritual antara Datuk Kuta Bangun dan Guru Patimpus. “Waktu itu terjadi duel spritual antara Datuk Kuta Bangun dengan Guru Patimpus. Dengan perjanjian sebelumnya, bahwa siapa yang kalah harus masuk ke agama pihak yang menang, ini disepakati,” tambahnya.
Guru Patimpus Sembiring, yang berasal dari Tanah Karo, menganut kepercayaan asli Pemena atau animisme Perbegu. Namun, dalam pertarungan spiritual tersebut, ia akhirnya mengakui kekalahan. “Dalam pertarungan spiritual tersebut, Datuk Kuta Bangun menyajikan buah kelapa sebagai hidangan untuk pendatang Karo yang kehausan. Satu buah kelapa lalu diminum oleh Guru Patimpus, akan tetapi airnya tidak habis-habis, bahkan setelah diminum oleh beberapa orang, air kelapa dari satu buah itu masih tetap ada. Akhirnya Guru Patimpus mengaku kalah dan masuk Islam,” ujar Ichwan.
Lebih lanjut, Ichwan menyoroti bahwa tanggal perayaan HUT Kota Medan setiap 1 Juli hanyalah perkiraan yang diputuskan DPRD Kota Medan tanpa landasan sejarah yang kuat. Ia juga memaparkan bukti masuknya Islam pertama kali ke Indonesia pada tahun 79 Hijriah atau 698 Masehi di Barus, Sumatera Utara. Bukti tersebut berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang terpahat pada koin mata uang dinasti Bani Umayyah, ditemukan di situs Tapanuli Tengah. Masuknya Islam di Barus dikaitkan dengan komoditas perdagangan emas, kemenyan, dan kapur barus yang melimpah di wilayah tersebut. Penemuan situs sejarah ini terjadi setelah tertimbun tsunami antara tahun 1833-1886.
Menurut Ichwan, peran Islam sangat signifikan dalam menjaga persatuan antarsuku di Sumut. “Muslim yang berasal dari Toba, bisa kompak dengan muslim dari Karo, muslim dari Mandailing bisa bertemu dengan muslim Tionghoa,” jelasnya.
Menyoroti Persatuan dan Tantangan Disintegrasi
Ketua Fraksi PKS MPR, Tifatul Sembiring, dalam sambutan pembuka, menyampaikan hipotesanya mengenai faktor-faktor pemersatu suku-suku di Sumatera Utara. Ia menyoroti tidak adanya gerakan separatisme di kalangan suku asli Sumut. “Kita tidak pernah mendengar teriakan atau pernyataan ‘Batak merdeka’,” ujar Tifatul. “Karena bagi suku-suku asli di Sumut, sejak pahlawan Sisingamangaraja XII berhasil mengusir penjajah Belanda, maka kita sudah merdeka. Bergabung dengan RI,” ucapnya.
Tifatul juga memaparkan bagaimana tradisi dan istilah bahasa lokal dapat mempererat persatuan. Di Toba, dikenal istilah marsiada pari (gotong royong), rambadia (persaudaraan), horas (semoga sehat sejahtera), dan persadaan/pardonganan (persatuan). Sementara di Karo, ada sapaan mejuah juah (sehat, sejahtera, mujur, selamat, harmoni) dan tradisi Jambur Karo, bangunan multifungsi untuk musyawarah dan acara adat.
Mengutip data BPS 2010, Tifatul merinci komposisi etnis di Sumut: Batak 44,75%, Jawa 33,41%, Nias 7,05%, Melayu 5,97%, Tionghoa 2,6%, dan Minang 2,58%. Ia mengklarifikasi bahwa angka “Batak” tersebut mencakup beragam suku seperti Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak/Dairi, Angkola, dan Melayu Pesisir. “Orang Karo tidak mau disebut Batak. Jadi angka 44,75% itu beragam, ada Suku Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak/Dairi, dan Angkola dan Melayu Pesisir, serta suku lainnya yaitu Nias. Jadi konotasi Batak itu lebih kepada Toba,” papar Tifatul.
Mantan Menkominfo ini juga mengingatkan adanya potensi suara-suara dari beberapa suku yang ingin memisahkan diri dari NKRI. “Hal ini, menurut mantan Menkominfo ini, harus diwaspadai karena mengarah kepada perpecahan bangsa. Kalau tak mampu mempersatukan, janganlah memecah belah,” pungkas Tifatul. Ia menegaskan bahwa Sumatera Utara dapat menjadi cerminan miniatur persatuan Indonesia, di mana berbagai suku dan agama bersatu dalam perbedaan.
Sudut Pandang Antropologi dan Penguatan Tokoh Suku
Dari sudut pandang antropologi, Dr. Ratih Baiduri membahas hubungan sosial antaretnis di Sumut. Ia menyebut Sumut sebagai “surga penelitian tentang ragam etnis.” Ratih menjelaskan asal-usul nama Matsum, sebuah daerah di Medan, yang berasal dari kata “maksum” atau kota suci, karena dihuni oleh orang Melayu. “Kebiasaan sultan melayu, jika ada yang masuk Islam, dianggap suci dan diberi tanah,” ujar Ratih.
Ratih juga menguraikan keberadaan etnis Jawa di Sumut, yang sebagian besar dibawa Belanda sebagai buruh perkebunan. “Orang-orang Jawa yang ada di Sumut ini, enggan untuk kembali ke Jawa. Karena sudah terlalu lama berada di Sumut. Bahkan tradisi-tradisi dan bahasa Jawa pun sudah berubah. Mereka dikenal sebagai pujakesuma, putra Jawa kelahiran sumatera,” urainya.
Ia turut menjelaskan prinsip dalihan na tolu pada suku Batak Toba, yang serupa dengan tigo tungku sajarangan di Minangkabau, sebagai lambang kekompakan dan kekerabatan. Prinsip ini tercermin dalam kebiasaan gotong royong, terutama saat panen padi, pernikahan, membangun rumah, hingga mengurus pengairan sawah. “Sebenarnya potensi konflik itu ada, tapi tidak berkembang lantaran suku-suku di Sumut ini memelihara prinsip dasar saling menghormati perbedaan,” simpul Ratih.
Sementara itu, Prof. Syaad Afifuddin berbagi pengalaman empirisnya sebagai sesepuh Karo. Ia menyimpulkan bahwa penguatan peran tokoh suku yang bersinergi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merupakan upaya krusial untuk mewujudkan persatuan dalam bingkai NKRI.
Lokakarya ini diharapkan dapat memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana merekatkan kohesi antarsesama anak bangsa, menjadikan Sumatera Utara sebagai model nyata persatuan di tengah keberagaman.






