Tren

Eddy Soeparno Tegaskan Ketahanan Energi Kunci Utama Dorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional 8 Persen

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, menegaskan bahwa ketahanan energi merupakan prasyarat utama bagi Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen. Pernyataan ini disampaikan Eddy dalam refleksi akhir tahun 2025 pada Selasa, 30 Desember 2025.

“Capaian pertumbuhan 5,04 persen patut kita syukuri. Namun jika kita ingin mencapai target pertumbuhan 8 persen, kita harus jujur melihat tantangan perekonomian kita, salah satunya adalah paradoks energi,” ujar Eddy Soeparno.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Eddy menjelaskan, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya energi yang melimpah, meliputi energi surya, hidro, angin, panas bumi, hingga potensi penyimpanan karbon. Namun, di sisi lain, struktur ekonomi nasional masih sangat bergantung pada impor energi, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG).

Ketergantungan ini, menurut Eddy, membuat ketahanan energi sekaligus ketahanan fiskal negara menjadi rentan. “Selama kita masih mengimpor energi dalam jumlah besar, selama itu pula ketahanan ekonomi kita tidak akan sepenuhnya kuat. Ketahanan energi bukan sekadar isu teknis tetapi harus menjadi isu strategis nasional,” tegasnya.

Ia kembali menekankan, “Potensi energi kita sangat besar, baik energi terbarukan, sumber daya fosil, hingga kapasitas penyimpanan karbon. Tetapi faktanya, perekonomian nasional masih bergantung pada impor BBM dan LPG. Inilah paradoks energi yang harus segera kita selesaikan untuk wujudkan ketahanan energi.”

RUPTL 2025–2034 dan Transisi Energi Bersih

Dalam konteks tersebut, Wakil Ketua Umum PAN ini menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebagai instrumen kebijakan yang sangat krusial. RUPTL tidak hanya memetakan kebutuhan pasokan listrik nasional, tetapi juga menjadi peta jalan transformasi energi Indonesia dalam satu dekade ke depan.

Doktor Ilmu Politik UI ini juga menyoroti ancaman perubahan iklim terhadap ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan pembangunan Indonesia. Menurut Eddy, sepanjang tahun 2025, Indonesia menyaksikan langsung eskalasi bencana iklim di berbagai wilayah, mulai dari Sumatera, Jawa, hingga Bali.

Bencana seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi dalam skala yang sangat besar.

Dampak Krisis Iklim terhadap Perekonomian

“Krisis iklim bukan lagi risiko yang akan datang. Ia sudah hadir di tengah kita, dan dampaknya sangat nyata bagi masyarakat,” ujar Eddy. Ia mengingatkan bahwa tanpa kebijakan mitigasi dan adaptasi yang kuat, krisis iklim berpotensi menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia lebih dari 1 persen pada tahun 2030.

Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah hilangnya ratusan ribu lapangan kerja, meningkatnya beban fiskal negara, serta menurunnya daya tarik investasi. Oleh karena itu, Eddy menilai kebijakan energi dan iklim harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional.

RUPTL 2025–2034, penguatan bauran energi bersih, serta pembangunan infrastruktur pendukung energi rendah karbon dipandang sebagai instrumen penting untuk mengurangi risiko ekonomi akibat perubahan iklim.

“Mengakhiri paradoks energi adalah bagian dari upaya kita mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan mencegah meluasnya dampak krisis iklim,” pungkas Eddy Soeparno.

Mureks