Tren

Dokter IDAI Peringatkan Lonjakan Kasus ‘Superflu’ Akibat Influenza H3N2, Waspada Penularan Cepat

JAKARTA – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh varian influenza H3N2, yang populer dengan sebutan “superflu”. Peringatan ini disampaikan menyusul adanya lonjakan kasus yang signifikan, terutama di wilayah beriklim dingin.

Dr. dr. Nastiti Kaswandani Sp.A(K), anggota Unit Kerja Koordinasi Respirologi IDAI, menjelaskan bahwa istilah “superflu” muncul karena kecepatan penularannya. “Nah masalahnya mungkin salah satu jadi penyebab istilah ‘superflu’ ini karena penularannya cepat, jadi satu orang itu bisa menulari 2-3 orang sekitarnya, diperkirakan varian ini mungkin bisa menulari lebih tapi belum ada penelitiannya,” ujar Nastiti dalam diskusi daring “Mengenali dan Mewaspadai Superflu” di Jakarta, Senin (29/12).

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Ia menambahkan, superflu dapat berbahaya dengan gejala ringan hingga berat. Penularannya terjadi melalui droplet atau ludah dari batuk atau bersin, serta kontak langsung dengan cairan pernapasan orang yang terinfeksi.

Varian H3N2 Subclade K dan Potensi Epidemi

Superflu merupakan bagian dari virus influenza H3N2 dengan varian subclade K. Varian ini dicurigai menjadi penyebab utama naiknya kasus influenza selama musim dingin, yang umumnya berlangsung antara Oktober hingga Januari atau Februari.

Di Amerika Serikat dan belahan bumi utara, sebanyak 200 kasus telah terdeteksi melalui genome sequencing sejak Oktober hingga akhir tahun ini.

Nastiti menyoroti bahwa H3N2 memiliki evolusi yang tinggi, mudah menular dan bermutasi, serta berpotensi menimbulkan epidemi atau kasus influenza massal. Kondisi ini dapat menyebabkan banyak pasien harus dirawat di rumah sakit, memicu gelombang kenaikan kebutuhan alat kesehatan dan obat-obatan, khususnya di negara-negara dengan musim dingin yang parah atau panjang.

Gejala influenza H3N2 dikatakan serupa dengan influenza A pada umumnya, meliputi demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri tenggorokan, dan gejala pilek. Namun, Nastiti menjelaskan bahwa subclade K tidak dapat dideteksi secara klinis.

“Dikatakan bahwa gejalanya mungkin sebetulnya sama dengan gejala influenza A pada umumnya ada demam tinggi, menggigil, sakit kepala, sampai nyeri tenggorokan maupun gejala-gejala pilek, dan kalau kita dalami lebih lanjut mengenai subclade K ini dia bagian atau varian dari flu A H3N2 dia tidak bisa dideteksi secara klinis, artinya dokter kalau melihat saja bahkan tidak bisa membedakan ini influenza atau bukan influenza, hanya mungkin bisa menduga ini secara klinis mirip influenza,” paparnya.

Untuk mendeteksi influenza secara umum, dapat dilakukan dengan rapid test atau pemeriksaan swab. Namun, identifikasi spesifik varian H3N2 subclade K memerlukan genome sequencing di laboratorium canggih, mirip dengan penanganan COVID-19.

Kelompok Berisiko Tinggi dan Pentingnya Imunisasi

Gejala influenza H3N2 yang mirip dengan influenza A berisiko tinggi menimbulkan keparahan pada kelompok balita dan lansia. Kelompok risiko lainnya mencakup pasien dengan komorbiditas atau penyakit kronis, penderita penyakit jantung bawaan pada anak, penyakit kardiovaskular pada dewasa, penderita kanker, serta pasien yang mengonsumsi obat penekan imunitas.

Nastiti menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa keparahan subclade K H3N2 lebih tinggi dibandingkan varian influenza lainnya. Ia menekankan bahwa imunisasi influenza tetap menjadi cara terbaik untuk menurunkan penularan atau tingkat keparahan penyakit.

“Tetap dalam laporan-laporan dinyatakan bahwa kerentanan ini meningkat pada orang-orang yang tidak mendapatkan imunisasi influenza, jadi memang imunisasi influenza masih terbukti berpengaruh baik atau bisa menurunkan resiko pada mereka,” tutup Nastiti.

Mureks