Stadio Olimpico bergemuruh menyambut kepulangan Daniele De Rossi pada Selasa (30/12/2025) dini hari WIB. Namun, di balik sambutan hangat dan emosional itu, legenda hidup AS Roma tersebut justru menyimpan gejolak amarah yang tak bisa disembunyikan.
De Rossi, yang kini menukangi Genoa, mendapatkan penghormatan layak dalam kunjungan perdananya sebagai lawan. Sayangnya, momen ini harus ternoda oleh kekalahan tim asuhannya, Genoa, yang takluk 1-3 dari tuan rumah AS Roma dalam lanjutan Serie A.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Reuni Pahit di Olimpico
Bagi De Rossi, ini adalah laga pertamanya kembali ke ibu kota sejak dipecat sebagai pelatih kepala Giallorossi pada September lalu. Luka lama mungkin sudah kering, tetapi performa buruk timnya malam itu membuka luka baru.
Gol-gol babak pertama dari Matias Soule, Manu Kone, dan Evan Ferguson membuat Genoa tak berkutik. Gol balasan Jeff Ekhator di menit ke-87 pun tak lebih dari sekadar hiburan semata bagi tim tamu.
Situasi paradoks inilah yang membuat De Rossi merasa bersalah. Ia meminta maaf kepada para pendukung karena tak bisa membalas cinta mereka dengan senyuman tulus di wajahnya.
Momen Haru dan Pengakuan Frustrasi
Sebelum peluit kick-off berbunyi, atmosfer kekeluargaan begitu kental terasa. Paulo Dybala, Gianluca Mancini, dan Manu Kone bahkan menyempatkan diri berlari ke pinggir lapangan demi memeluk mantan bos mereka tersebut.
Puncak emosi justru pecah setelah laga usai. De Rossi dipersilakan melakukan lap of honor, sebuah putaran penghormatan mengelilingi stadion sembari diiringi lagu ikonik “Grazie Roma” yang mengalun syahdu. Langkah kakinya terhenti di depan Curva Sud, di mana bendera-bendera bertuliskan namanya dan nomor punggung lamanya berkibar gagah, sementara ia menyalami sejumlah suporter di tribun.
Kendati dihujani cinta, De Rossi mengaku sulit menikmati momen tersebut sepenuhnya. Kepada DAZN, ia mengungkapkan perasaan frustrasi yang berkecamuk di dadanya akibat performa mengecewakan Genoa.
“Saya marah di dalam hati, sungguh frustrasi karena saya tidak menyukai penampilan yang kami tunjukkan,” tegas De Rossi.
Perasaan itu tetap bertahan meski ia sadar sedang menjalani momen perpisahan yang indah. Dukungan dari penggemar setia, mantan suporter, hingga mantan anak asuhnya tak mampu serta-merta memadamkan api kekecewaannya sebagai pelatih.
“Mereka akan melakukan hal yang sama (memberi sambutan) entah itu hasil imbang, menang, atau kalah. Namun, akan sedikit lebih manis rasanya untuk pergi dan berpamitan kepada mereka setelah penampilan yang berbeda,” imbuhnya.
Permintaan Maaf Sang Legenda
De Rossi menyadari bahwa ekspresi wajahnya mungkin terlihat kaku dan tidak ramah saat melambaikan tangan ke arah tribun. Ia merasa perlu meluruskan bahwa hal itu bukan bentuk ketidaksukaan pada suporter, melainkan refleksi dari standar tingginya.
“Saya minta maaf karena memasang wajah masam saat perpisahan itu, tapi mereka mengenal saya,” ujarnya.
Bagi De Rossi, sepak bola adalah tentang totalitas emosi. Ia tidak bisa berpura-pura bahagia di saat timnya bermain di bawah standar, bahkan di momen paling sentimental sekalipun.
“Mereka tahu bahwa saya tidak memiliki cara lain dalam menghayati sepak bola,” pungkasnya.






