Kota Malang, yang kini dikenal sebagai kota pendidikan dan pariwisata yang sejuk, menyimpan jejak panjang transformasi dari wilayah agraris menjadi pusat permukiman modern di bawah administrasi kolonial Belanda. Perubahan besar ini tidak hanya membentuk lanskap fisik kota, tetapi juga menata ulang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Malang: Dari Wilayah Agraris Menuju Pusat Administrasi Kolonial
Sebelum memasuki abad ke-19, Malang hanyalah kumpulan desa-desa yang hidup dari pertanian dan terhubung oleh aliran sungai. Wajah pedesaan ini mulai berubah drastis setelah runtuhnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan pengambilalihan kekuasaan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Pada tahun 1824, Malang resmi ditetapkan sebagai wilayah administrasi kolonial dengan jabatan Asisten Residen, menandai awal pengelolaan yang lebih teratur. Pembangunan pemukiman dan fasilitas pemerintahan mulai terlihat sekitar tahun 1882, terutama di sisi barat kota dan area alun-alun. Tonggak sejarah penting lainnya terjadi pada 1 April 1914, ketika Malang diangkat statusnya menjadi Gemeente atau kotapraja, memberikannya otonomi dalam perencanaan tata kota.
Arya W. Wirayuda dalam bukunya Kota dan Jejak Aktivitas Peradaban menjelaskan, “perkembangan awal kota Malang mengikuti aliran sungai. Gedung pemerintahan, pemukiman, dan pusat aktivitas ekonomi sengaja dibangun dekat sumber air karena sungai berperan penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.”
Rel Kereta Api dan Rencana Perluasan Kota
Perkembangan Malang semakin pesat dengan beroperasinya jalur kereta api pada tahun 1879. Jalur ini menghubungkan Malang dengan Surabaya dan kawasan perkebunan di sekitarnya, membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi.
“Pemerintah Kota Malang mencatat bahwa keberadaan rel kereta api yang menghubungkan Malang dengan Surabaya dan kawasan perkebunan sekitarnya membawa dampak besar bagi pertumbuhan kota,” demikian pernyataan dari Pemerintah Kota Malang. Jalur ini mempermudah pengangkutan hasil perkebunan seperti gula dan kopi menuju pelabuhan, sekaligus memicu munculnya kawasan-kawasan baru berupa gudang, perumahan, dan pusat aktivitas ekonomi di sekitar stasiun dan rel.
Setelah menjadi Gemeente, pemerintah kota menyusun delapan tahap rencana perluasan kota atau bouwplan (I–VIII) sejak tahun 1917. Rencana ini mengusung konsep garden city, yang memadukan kawasan hijau dengan pemukiman dan fasilitas publik. “Penelitian berjudul Perkembangan Kota Malang 1914–1940: Suatu Tinjauan yang tersimpan di Repositori Universitas Airlangga menjelaskan bahwa setelah menjadi Gemeente, pemerintah kota menyusun delapan tahap rencana perluasan kota atau bouwplan (I–VIII) sejak 1917.” Fokus awal perluasan meliputi wilayah Claket hingga Rampal, kemudian berkembang ke arah barat dan utara menuju Lawang.
Konsep Garden City dan Simbol Ketidaksetaraan di Ijen Boulevard
Konsep garden city menjadi ciri khas pembangunan Kota Malang di era kolonial, dipengaruhi oleh pemikiran arsitek Belanda seperti Thomas Karsten. Tujuannya adalah menciptakan kota yang nyaman, hijau, dan tertata rapi. “Dalam buku Kota dan Jejak Aktivitas Peradaban karya Arya W. Wirayuda disebutkan bahwa konsep ini dipengaruhi pemikiran arsitek Belanda seperti Thomas Karsten. Tujuannya adalah menciptakan kota yang nyaman, hijau, dan tertata rapi.”
Penerapan konsep ini paling jelas terlihat di kawasan Ijen Boulevard. Jalan yang dirancang lebar dengan taman di tengah, deretan pohon palem, dan rumah-rumah besar diperuntukkan bagi keluarga Eropa. Kawasan ini menjadi contoh nyata pembagian ruang yang tidak setara, di mana penduduk Eropa menikmati fasilitas lengkap seperti air bersih, jalan yang baik, dan taman kota, sementara masyarakat pribumi tinggal di pinggiran dengan sarana yang jauh lebih terbatas. Alun-alun Bunder, yang dirancang sejak 1922, juga dijadikan pusat pemerintahan baru untuk mengarahkan pertumbuhan kota agar tetap dekat dengan kawasan Eropa.
Dua Fase Transformasi dan Warisan Tata Ruang Kolonial
Hudiyanto dkk dalam penelitiannya Pemerintah Kota dan Masyarakat Bumiputra, Kota Malang 1914–1950 membagi perkembangan Malang ke dalam dua fase besar. Fase pertama (1914–1930) adalah masa transformasi dari kota agraris dan perkebunan menjadi kota dengan berbagai fungsi, berkembang sebagai pusat pendidikan, perdagangan, dan jasa. Sekolah-sekolah Eropa (ELS), rumah sakit, hotel, serta pertokoan di Kayutangan dan Klojen mulai bermunculan.
Fase kedua (1930–1950) merupakan masa konsolidasi, di mana struktur kota semakin menguat. “Dinas Pariwisata Malang mencatat bahwa perubahan penggunaan lahan berlangsung cepat, di mana sawah dan kebun berubah menjadi perumahan, kantor, dan kawasan industri.” Pola tata ruang kolonial seperti Ijen Boulevard, Alun-alun Bunder, serta jaringan jalan menuju Lawang dan Batu, menurut Arya W. Wirayuda dalam buku Kota dan Jejak Aktivitas Peradaban, “masih membentuk wajah Kota Malang hingga kini sebagai kota sejuk, kota pendidikan, dan kota wisata.” Warisan ini terus membentuk identitas Malang hingga saat ini.






