Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program prioritas pemerintah, kini menghadapi polemik terkait keberlanjutannya selama masa libur sekolah. Perdebatan muncul di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dengan Komisi X dan Komisi IX menyuarakan pandangan yang bertolak belakang mengenai efektivitas dan alokasi anggaran program tersebut.
Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggara MBG, berencana untuk tetap menjalankan program ini hingga masa libur sekolah di Januari 2026. Rencana ini mendapat dukungan penuh dari Komisi X DPR RI. Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menyatakan dukungannya agar MBG tetap berjalan demi memastikan kebutuhan gizi siswa terpenuhi meskipun tidak beraktivitas di sekolah.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Hetifah menjelaskan bahwa MBG merupakan langkah preventif untuk menjaga status gizi anak. Meski demikian, ia juga memberikan sejumlah masukan agar program tetap relevan di masa libur. “Pertama, penyesuaian jenis menu. Selama masa libur, MBG disalurkan dalam bentuk menu kering atau tahan simpan seperti abon, roti, atau bolu, sehingga lebih aman dan praktis,” kata Hetifah.
Selain itu, Hetifah meminta agar distribusi MBG dapat tepat sasaran dan efektif, dengan melibatkan kerja sama berbagai pihak mulai dari SPPG, sekolah, murid, hingga wali murid. Ia juga menginginkan penguatan kerja sama dengan UMKM lokal untuk menjaga suplai bahan MBG sekaligus memberi dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Sikap Komisi X DPR tersebut berlawanan dengan usulan dari Komisi IX DPR RI. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, mengusulkan agar anggaran MBG yang dilaksanakan saat masa libur sekolah dialihkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak. “Alih-alih memaksakan program di masa yang kurang relevan, bukankah lebih bijak bila anggaran tersebut dialihkan untuk merespons kebutuhan mendesak lainnya?” kata Charles, dikutip dari detikNews, Senin (22/12/2025).
Charles memberikan contoh pengalihan anggaran tersebut. “Misalnya, membantu korban bencana di Sumatera atau memperkuat fasilitas kesehatan dan pemulihan gizi di daerah terdampak stunting akut,” sambungnya.
Ia menyoroti efektivitas pembagian MBG di masa libur sekolah, menyebut bahwa ekosistem belajar saat masuk dan libur sekolah berbeda. Menurutnya, strategi distribusi MBG dengan komposisi makanan dan minuman kemasan tidak sesuai dengan tujuan awal program. Charles justru menekankan peran orang tua yang seharusnya diperbesar saat anak-anak melewati masa libur sekolah.
“Sekolah libur berarti ekosistem belajar, tempat anak-anak menerima manfaat MBG, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Distribusi makanan kering di masa libur, yang menurut laporan lapangan banyak berisi produk kemasan dan ultra processed food (UPF), berisiko melenceng dari tujuan awal program ini, yakni memperbaiki status gizi anak-anak Indonesia,” ujarnya.
Ia menilai orang tua memiliki peran lebih besar dalam pemenuhan gizi anak di rumah, terutama saat masa libur, di mana waktu yang dimiliki cukup banyak untuk menyiapkan makanan bergizi bagi anak-anak mereka.






