Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menyatakan bahwa kritik dan penolakan terhadap buku sejarah Indonesia versi terbaru yang diluncurkan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) perlu dihormati. Menurutnya, buku tersebut dapat memperkaya narasi sejarah nasional.
Uji Publik dan Penilaian Ahli
Lalu Hadrian Irfani menekankan pentingnya uji publik dan penilaian dari para ahli pendidikan sebelum buku tersebut ditetapkan sebagai bahan ajar wajib. “Apakah buku ini akan didorong menjadi bahan ajar wajib, perlu uji publik dan penilaian dari para ahli pendidikan,” ujar Lalu Hadrian Irfani kepada wartawan pada Senin (15/12/2025).
Ia menambahkan bahwa materi ajar sejarah haruslah mendidik, berimbang, dan mampu memperkuat nalar kritis siswa. “Yang terpenting, materi ajar sejarah harus mendidik, berimbang, dan memperkuat nalar kritis siswa,” imbuhnya.
Sensitivitas Publik dalam Sejarah
Menanggapi potensi penolakan dari publik, Lalu Hadrian Irfani menegaskan bahwa hal tersebut harus dihargai. Ia beralasan bahwa sejarah mengandung unsur sensitivitas publik yang tinggi. “Karena sejarah menyangkut ingatan kolektif dan sensitivitas publik, tentu masukan, kritik, bahkan penolakan dari masyarakat harus dihormati dan dijadikan bahan evaluasi,” jelasnya.
Peluncuran Buku ‘Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global’
Buku ‘Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global’ sebelumnya telah dirilis oleh Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon. Buku yang terdiri dari sepuluh jilid ini mencakup perjalanan sejarah Indonesia mulai dari akar peradaban Nusantara, interaksi global, masa kolonial, pergerakan kebangsaan, hingga era reformasi dan konsolidasi demokrasi hingga tahun 2024.
Peresmian buku tersebut dilangsungkan di gedung Kemendikdasmen, Jakarta, pada Minggu (14/12/2025). Acara ditandai dengan peletakan puzzle berbentuk pulau-pulau Indonesia, yang melambangkan keragaman unsur dalam buku sejarah tersebut.
Ditulis oleh Para Ahli Sejarah
Dalam sambutannya, Fadli Zon menjelaskan bahwa buku ini disusun oleh para ahli sejarah. Terdapat 123 penulis yang berasal dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. “Jadi ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu, atau oleh orang Kementerian Kebudayaan. Kita memfasilitasi para sejarawan untuk menulis sejarah. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?” kata Fadli Zon.






