Ribuan orang memadati Bethlehem pada malam Natal, Selasa (24/12/2025), menandai perayaan publik pertama di kota itu sejak tahun 2022. Perayaan ini kembali digelar setelah dua tahun sebelumnya diredam sebagai bentuk penghormatan terhadap ribuan korban tewas akibat perang Israel di Gaza.
Keluarga-keluarga berkumpul di Manger Square, Bethlehem, Tepi Barat yang diduduki, di mana pohon Natal raksasa kembali berdiri megah di alun-alun utama. Pohon tersebut menggantikan instalasi palungan pada masa perang yang menampilkan bayi Yesus di tengah puing dan kawat berduri, sebuah simbol kehancuran di Gaza.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Perayaan Natal dipimpin oleh Kardinal Pierbattista Pizzaballa, pemimpin tertinggi umat Katolik di Tanah Suci, yang tiba dari Yerusalem dalam prosesi Natal tradisional. Dalam pesannya, Kardinal Pizzaballa menyerukan agar Natal tahun ini menjadi “Natal yang penuh cahaya”.
Sejumlah rohaniwan dan putra altar terlihat bersiap menjelang misa Natal di Manger Square, tepat di luar Gereja Kelahiran. Kemeriahan perayaan juga diwarnai oleh barisan pramuka dari berbagai kota di Tepi Barat yang berparade sambil memainkan bagpipe berhias kain tartan dan mengibarkan bendera Palestina.
Dampak Konflik pada Ekonomi dan Keamanan Bethlehem
Kembalinya perayaan Natal ini berlangsung di tengah situasi yang masih penuh tantangan. Sejak dimulainya perang Israel di Gaza, pasukan Israel melakukan penggerebekan hampir setiap hari di wilayah Tepi Barat, yang mengakibatkan penangkapan ribuan warga Palestina dan pengetatan mobilitas antarkota.
Warga Palestina mengungkapkan bahwa peningkatan kehadiran militer, penutupan jalan, serta antrean panjang di pos pemeriksaan telah menghalangi kedatangan wisatawan dan melumpuhkan sektor pariwisata. Padahal, sektor ini merupakan tulang punggung ekonomi Bethlehem. Akibatnya, mayoritas peserta perayaan Natal tahun ini adalah warga lokal, dengan jumlah pengunjung asing yang sangat terbatas, mencerminkan lemahnya pemulihan pariwisata di tengah situasi keamanan yang belum stabil.
Wali Kota Bethlehem, Maher Nicola Canawati, menyoroti dampak ekonomi yang parah. Ia menyebut tingkat pengangguran di kota itu melonjak drastis dari 14% menjadi 65% selama perang di Gaza. “Memburuknya kondisi ekonomi juga mendorong sekitar 4.000 warga meninggalkan Bethlehem untuk mencari pekerjaan di tempat lain,” ujar Canawati.
Eskalasi Ketegangan di Tepi Barat
Perayaan Natal juga terjadi di tengah berlanjutnya penggerebekan dan operasi militer berskala besar Israel di Tepi Barat. Meskipun gencatan senjata rapuh di Gaza mulai berlaku sejak Oktober, namun gencatan senjata tersebut berulang kali dilanggar. Operasi militer Israel kerap disertai penangkapan massal, penggeledahan dan penghancuran rumah, hingga kekerasan fisik yang dalam beberapa kasus berujung kematian.
Kantor Kemanusiaan PBB melaporkan bahwa serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina telah mencapai level tertinggi sejak pencatatan data dimulai pada tahun 2006. Serangan tersebut mencakup pembunuhan, pemukulan, serta perusakan properti yang sering terjadi dengan perlindungan militer Israel.
Sebelumnya pada Rabu, lebih dari 570 pemukim Israel memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki dengan pengawalan polisi. Otoritas Palestina menilai tindakan tersebut melanggar status quo yang telah lama mengatur situs suci ketiga umat Islam tersebut.
Di sisi lain, kabinet keamanan Israel menyetujui rencana formalisasi 19 permukiman ilegal di Tepi Barat. Pejabat Palestina menilai keputusan ini sebagai upaya lanjutan perampasan tanah dan rekayasa demografi. Keputusan tersebut menuai kecaman dari Inggris, Kanada, Jerman, serta sejumlah negara lain yang mendesak Israel membatalkan kebijakan tersebut karena dinilai melanggar hukum internasional dan berisiko memicu ketidakstabilan kawasan.






