Banjir bandang yang melanda Sumatera menjadi sorotan tajam di penghujung tahun, menguji kesiapan bangsa menghadapi bencana alam yang kerap dikaitkan dengan kerusakan lingkungan akibat kelalaian manusia. Di tengah keprihatinan, publik menyuarakan tuntutan, mulai dari inisiatif bantuan warga untuk warga hingga desakan penetapan status darurat nasional. Tuduhan deforestasi sebagai akar masalah pun menguat, menempatkan langkah pemerintah di bawah pengawasan ketat, terlebih ketika muncul indikasi kontradiksi antara ungkapan dan tindakan yang dinilai minim empati.
Ketimpangan ini semakin kentara ketika rakyat menunjukkan semangat gotong royong dalam menghadapi krisis, sementara sebagian elite dinilai terbuai dalam retorika pencitraan. Publik kini menanti realisasi substansi kebijakan kebencanaan yang sesungguhnya, bukan sekadar janji manis.
Politik, Kebijakan, dan Tata Kelola yang Harmonis
Idealnya, politik (politics), kebijakan (policy), dan tata kelembagaan (polity) bekerja sinergis dalam penanganan bencana. Policy memuat substansi dan mekanisme tindakan, politics mengatur dinamika kekuasaan dalam pengambilan keputusan, sementara polity menyediakan kerangka institusional. Dalam konteks kebencanaan, kesatuan ini seharusnya terwujud dalam mitigasi terencana, tata kelola konflik yang inklusif, dan institusi negara yang responsif.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang pemisah. Aspek politics kerap terjebak dalam pusaran populisme yang mengutamakan pengakuan dan dukungan sesaat, alih-alih keutamaan demokrasi. Fenomena ini sejalan dengan konsep amour-propre Jean-Jacques Rousseau, di mana kepentingan diri mengalahkan kepentingan publik. Para elite, kata penulis, tergoda membentuk citra melalui narasi bombastis saat bencana terjadi, mengesampingkan mitigasi substantif.
Tantangan Kebijakan dan Kelambanan Birokrasi
Di ranah policy, tantangan terbesar kebijakan kebencanaan muncul dari berbagai kepentingan yang menghambat sinkronisasi perencanaan dan implementasi. Kajian ilmiah dan rekomendasi seringkali menemui jalan buntu, terperangkap dalam asumsi “kebijakan baik, politik buruk”. Banjir bandang Sumatera menegaskan kembali deforestasi sebagai akar krisis, di mana reboisasi tak mampu mengejar laju kerusakan. Ekspansi infrastruktur ekstraktif memperparah kondisi, sementara kebijakan kebencanaan lebih sering bersifat reaktif ketimbang preventif.
Sementara itu, aspek polity terlihat dalam lambannya birokrasi merespons tuntutan penetapan status darurat bencana nasional. Hal ini mengingatkan pada kritik Ben Anderson mengenai “old state, new society“, di mana struktur negara lama bertahan meski masyarakat telah berubah. Kelambanan institusional ini menghambat aspirasi kolektif untuk diterjemahkan menjadi tindakan cepat di lapangan.
Dampak Krisis dan Arah Perubahan
Ketidaksinkronan dalam penanganan bencana ini menciptakan krisis respons yang merupakan akumulasi dari struktur politik yang lemah, perilaku politik yang jauh dari keadaban publik, serta proses politik yang tersendat. Krisis kebencanaan mencerminkan kredibilitas negara dalam menjamin keselamatan warganya.
Jika tidak ditangani, populisme politik di tengah bencana dapat mengikis nilai demokrasi. Ketidakkonsistenan kebijakan menimbulkan inefisiensi, berpotensi menambah korban jiwa, kerugian ekonomi, serta merosotnya kepercayaan publik. Politisasi bencana pun dapat melemahkan legitimasi negara dan daya tawar institusi.
Menuju Kebijakan Berorientasi Jangka Panjang
Penulis menekankan kewajiban tanggung jawab bersama dalam situasi bencana. Perubahan dapat dicapai jika pilihan politik hari ini mempertimbangkan nasib generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi kompas moral dan strategi kebencanaan jangka panjang.
Perbedaan mendasar politisi dan negarawan terletak pada fokusnya: politisi memikirkan pemilu berikutnya, sementara negarawan memikirkan generasi berikutnya. Netralitas politik adalah ilusi; pemerintah harus berpihak pada korban, bukan sekadar membangun citra. Kehadiran negara di tengah bencana harus berorientasi pada pembangunan generasi masa depan.
Kesejahteraan bersama seharusnya tidak bergantung pada siapa yang berkuasa, melainkan bagaimana kekuasaan dijalankan dan untuk siapa. Diperlukan komitmen kolektif untuk menegakkan nilai-nilai kepublikan, menerjemahkan niat baik menjadi kebijakan konkret demi kemaslahatan umum. Hanya dengan demikian, tata kelola kebijakan kebencanaan yang optimal dapat terwujud.






