Berita

Banjir Bandang Agam Luluhlantakkan Sawah Petani, Liza: “Saya Tak Tahu Harus Apa”

Advertisement

Banjir bandang yang menerjang Palembayan, Agam, Sumatera Barat, tak hanya meninggalkan duka mendalam akibat korban jiwa, tetapi juga melumpuhkan sendi-sendi ekonomi masyarakat. Di tengah ketidakpastian pascabencana, warga dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana melanjutkan hidup dan mencari penghasilan?

Liza (45), warga Jorong Kayu Pasak, Nagari Salareh Aia Induk, Palembayan, adalah salah satu yang beruntung selamat dari amukan banjir bandang pada Kamis (27/11/2025). Namun, keberuntungan itu harus dibayar mahal dengan hilangnya sumber penghidupannya. “Kami aman, alhamdulillah. Kalau masalah rumah dan kehidupan badan, alhamdulillah sehat. tapi lahan sawah kami habis ditimbun lumpur banjir bandang. itu ekonomi kami sulit,” ujar Liza kepada Kompas.com di Posko Pengungsian SD 05 Kayu Pasak, Jumat (6/12/2025) siang.

Sekitar setengah hektar sawah yang menjadi tumpuan hidup Liza kini tertimbun material lumpur. Saat ia menengok kembali lahannya seminggu pascabanjir, tak ada lagi pemandangan hijau padi yang biasa ia rawat. Lahan inilah yang menjadi sumber utama pendapatan bagi Liza dan keluarganya.

“Di sini kami ekonominya enggak banyak, lahan cuma sedikit tapi rata. Saya (hidup) dari sawah iya, tapi cari-cari tambahan (uang) di luar juga,” tambahnya.

Kebingungan Menghadapi Masa Depan

Sebagai ibu dari empat anak, Liza kini dilanda kebingungan. Ia memprediksi sawahnya tidak akan bisa diolah setidaknya selama satu tahun ke depan akibat timbunan lumpur dan material kayu yang masif. Kondisi ini membuatnya tak tahu harus berbuat apa.

“Kalau diolah di atas lumpur, kaya gimana ya. enggak tahu saya. Kalau ekonomi ini saya enggak tahu lamanya. Enggak tahu harus apa. Enggak tahu pokoknya,” ucapnya penuh kepasrahan.

Liza juga memikirkan opsi usaha lain, namun ia menyadari bahwa kondisi ekonomi warga di sekitarnya pun tak jauh berbeda. Potensi untuk berjualan kebutuhan sehari-hari atau makanan pun sangat kecil karena daya beli masyarakat yang menurun drastis.

Advertisement

“Kalau di sini jualan enggak ada yang beli, kalau jualan hari-harian payah, jualan masakan itu payah. Ekonominya sama semua,” pungkasnya.

Harapan Bantuan untuk Bangkit

Sebelum bencana, Liza menggantungkan hidupnya pada hasil panen sawah dan kebun. Proses panen yang memakan waktu 3-4 bulan biasanya menghasilkan sekitar 20 karung gabah, yang setara dengan sekitar 100 kilogram beras jika dikonversi. Harga beras saat itu berkisar Rp 15.000 per kilogram.

Kini, Liza dan para korban yang kehilangan mata pencaharian sangat membutuhkan uluran tangan. Selama masa pengungsian, ia masih bisa bertahan dengan menjadi petugas dapur umum. Namun, ia tak tahu bagaimana nasibnya setelah posko pengungsian tak lagi beroperasi.

“Habis ini saya enggak tahu mau ke mana cari uang. Harapannya semoga semua membaik semua, ekonomi kami seperti semula,” ujar Liza penuh harap.

Bantuan yang paling diharapkan adalah modal usaha, bahan makanan, dan beras. “Uang bantuan agar kami bisa usaha yang lain, kalau bisa kami jualan lain. Kan ada kebutuhan sekolah bayar-bayar uang sekolah,” katanya, menyuarakan kebutuhan mendesak untuk bangkit dari keterpurukan.

Advertisement