Ekspor beras Thailand diproyeksikan melemah signifikan pada tahun 2026. Penguatan nilai tukar baht menjadi faktor utama yang menekan daya saing produk pertanian negara tersebut di pasar global.
Kementerian Perdagangan Thailand, melalui Departemen Perdagangan Luar Negeri, memproyeksikan volume ekspor beras akan turun menjadi sekitar 7 juta ton pada tahun 2026, dari perkiraan 8 juta ton pada tahun 2025. Proyeksi ini diungkapkan pada Minggu (28/12/2025), sebagaimana dikutip dari Bangkok Post.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Penguatan Baht dan Tantangan Ekonomi Thailand
Kepala Departemen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Thailand, Arada Fuangtong, menegaskan bahwa penguatan baht merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kinerja ekspor produk pertanian, termasuk beras.
“Jika nilai tukar baht terus seperti ini, akan menimbulkan tantangan besar bagi produk pertanian Thailand,” kata Arada dalam konferensi pers pada Jumat (26/12/2025).
Ia juga menekankan pentingnya stabilitas dan daya saing mata uang. “Nilai tukar baht harus kompetitif dan stabil,” ujarnya.
Saat ini, nilai tukar baht Thailand diperdagangkan pada level tertinggi dalam empat tahun terhadap dollar AS. Sepanjang tahun 2025, mata uang tersebut telah menguat sekitar 9,4 persen dan tercatat sebagai mata uang dengan kinerja terbaik kedua di Asia. Arada menambahkan, baht saat ini 10 sampai 20 persen lebih kuat dibandingkan mata uang negara pesaing.
Penguatan baht ini memperpanjang daftar tantangan yang dihadapi ekonomi terbesar ketiga di Asia Tenggara sepanjang tahun 2025. Selain tekanan nilai tukar, Thailand juga menghadapi dampak tarif Amerika Serikat (AS), tingginya utang rumah tangga, konflik perbatasan dengan Kamboja, serta ketidakpastian politik menjelang pemilihan umum pada Februari 2026 mendatang.
Dampak pada Petani dan Upaya Pemerintah
Tekanan di sektor pertanian juga tercermin dari penurunan harga beras di tingkat petani. Kondisi ini sempat memicu tuntutan dari petani pada awal tahun agar pemerintah memberikan dukungan yang lebih kuat untuk menjaga pendapatan mereka.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, Arada menyampaikan bahwa sejumlah kontrak ekspor tetap berjalan. Salah satunya adalah kesepakatan penjualan 500.000 ton beras ke China yang diperkirakan berlanjut, didukung oleh hubungan bilateral yang kuat antara kedua negara.
Selain itu, pada bulan November 2025, Thailand juga menyepakati penjualan hingga 100.000 ton beras ke Singapura untuk periode lima tahun. Kesepakatan ini diharapkan dapat menjaga keberlanjutan ekspor di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Pemerintah Thailand juga terus memperluas pasar ekspor beras putih dan beras parboiled ke sejumlah negara, termasuk Irak, Arab Saudi, serta negara-negara lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika.






