Jutaan komuter Jabodetabek setiap hari mengandalkan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line sebagai tulang punggung mobilitas. Moda transportasi massal ini menjadi pilihan utama karena kecepatan, keterjangkauan, dan kemampuannya menembus kemacetan jalan raya. Namun, seiring waktu, jumlah penumpang yang terus membludak berbanding terbalik dengan usia armada yang sebagian telah menua, menimbulkan keluhan akan perjalanan yang semakin penuh sesak.
Yunita (28), seorang komuter dari Parung Panjang, menggambarkan realitas ini. “Kalau dipikir-pikir, wujud transportasi nyaman itu ada pada KRL. Sudah cepat, antimacet, harganya murah pula. Sayangnya, (penumpang) seringnya mesti berdesak-desakan untuk sampai tujuan. Kadang sudah penuh, pintu hampir tidak bisa menutup. Kalau memaksa masuk, ya harus berdiri berimpitan sampai kantor,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (25/9/2025).
Meski menghadapi kepadatan, Yunita tetap setia. Biaya perjalanan dari Parung Panjang ke Bendungan Hilir, dengan transit ojek daring, hanya Rp 4.000 sekali jalan. Opsi transportasi pribadi dinilai terlalu mahal, dengan potensi pengeluaran bahan bakar dan parkir yang membengkak.
Rizka (34), komuter lain dari Cisauk-Palmerah, merasakan hal senada. Ongkos Rp 3.000 sekali jalan membuatnya tak bisa berpaling, meskipun perjuangan di jam-jam sibuk sangat terasa. “Saya berangkat pagi sekali. Kalau telat, risikonya harus naik kereta selanjutnya dan biasanya lebih penuh sesak,” kisahnya.
Keduanya berharap transportasi massal yang terjangkau dapat dinikmati dengan nyaman. “Kapan ya, di Indonesia ada transportasi massal terjangkau dan nyaman? Biar Rp 3.000, tapi enggak perlu perjuangan berdesak-desakan begitu (seperti sekarang). Enggak duduk enggak apa-apa, yang penting, gerak masih leluasa, fasilitas bersih, dan AC dingin,” ucap Rizka penuh harap.
Penumpang Kian Membludak
Data PT KAI Commuter Indonesia (KCI) mencatat lonjakan signifikan pengguna KRL Commuter Line Jabodetabek. Pada Oktober 2025, volume penumpang mencapai 29.933.224 orang, naik 6,1 persen dibanding Oktober 2024. Secara kumulatif, Januari-Oktober 2025 melayani 287.297.882 penumpang, meningkat 5,7 persen dari periode sama tahun sebelumnya.
KCI memproyeksikan jumlah pengguna hingga akhir 2025 mencapai 334,34 juta orang. Meski jumlah perjalanan bertambah menjadi 1.063 per hari sejak 1 Februari 2025, kepadatan tetap menjadi isu utama.
VP Corporate Secretary PT KCI Karina Amanda menekankan peran vital Commuter Line bagi mobilitas warga Jabodetabek. “Dengan rata-rata penumpang pada weekday sebanyak 1.038.471 orang dan weekend pada angka 755.718 orang,” jelas Karina pada Kompas.com, Kamis (16/10/2025).
Ia menambahkan, Commuter Line menjadi pilihan utama karena terjangkau, aman, nyaman, efektif mengurangi kepadatan jalan, dan menurunkan polusi.
Upaya KCI Jawab Kebutuhan
Lonjakan pengguna menjadi alarm bagi KCI dan pemerintah untuk segera memperkuat armada. KCI telah menyiapkan rencana pengadaan trainset baru sejak 2023, dengan prioritas Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk penambahan armada.
Kajian PwC memprediksi okupansi pengguna KRL pada jam sibuk bisa mencapai 242 persen per perjalanan pada 2027 jika tidak ada pengadaan sarana baru. Kekurangan armada tidak hanya mengancam kenyamanan, tetapi juga berpotensi menurunkan jumlah pengguna, meningkatkan keluhan, risiko keselamatan, dan kerugian finansial.
Sebagai operator yang melayani lebih dari 1 juta pengguna harian, KCI berkontribusi pada produktivitas ekonomi Jabodetabek dan PDB nasional. Mobilitas tenaga kerja perkotaan yang lancar menjaga stabilitas ekonomi makro dan efisiensi biaya transportasi publik. KCI juga berperan menghubungkan masyarakat lintas kota, membuka akses pendidikan dan lapangan kerja, serta memperkuat konektivitas antarwilayah.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah dalam mengembangkan sistem transportasi perkeretaapian nasional. “Sistem kereta api kita ini akan menjadi fokus perhatian dari program pemerintah yang saya pimpin,” ujarnya.
Terkait penambahan armada KRL, Presiden menyetujui alokasi anggaran pengadaan rangkaian kereta baru. “Kalau untuk kepentingan rakyat banyak, saya tidak ragu-ragu. Uangnya kita hemat, tapi kepentingan rakyat di atas segala kepentingan,” tegasnya.
Proyeksi Kebutuhan ke Depan
KCI memperkirakan pada 2029, layanan KRL Jabodetabek membutuhkan 127 trainset atau 1.444 unit kereta. Keberadaan KRL terbukti menciptakan multiplier effect pada sektor properti dan usaha mikro.
Kawasan sekitar Stasiun Bogor, misalnya, mengalami kenaikan nilai lahan hingga 15 persen per tahun. Aktivitas ekonomi warga sekitar stasiun pun meningkat, mulai dari tumbuhnya rumah kos, kafe, pusat kuliner, hingga transit oriented development (TOD).
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Prof Dr Nugroho SBM, menjelaskan hubungan timbal balik antara transportasi dan perekonomian. “Pertama, transportasi memengaruhi perekonomian (transportation led growth). Kedua, perekonomian memengaruhi transportasi (growth led transportation). Dengan pembangunan sarana dan prasarana transportasi, maka perekonomian suatu wilayah akan berkembang,” tulisnya di Kompas.com, Kamis (28/8/2025).
Bagi penumpang seperti Yunita dan Rizka, lonjakan penumpang seharusnya menjadi alarm bagi pemangku kebijakan untuk memprioritaskan penambahan sarana demi kenyamanan. Kesadaran masyarakat untuk menggunakan transportasi publik semakin meluas, selaras dengan upaya pemerintah mengurai kemacetan.
“Penambahan armada, pembaruan fasilitas, dan integrasi antarmoda, utamanya di kawasan penyangga harusnya jadi prioritas,” sambung Rizka. Peningkatan kapasitas dan konektivitas KRL diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan penumpang, memberikan banyak opsi mobilitas, dan secara otomatis mengurai kemacetan.
Investasi pada sarana KRL bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak bagi masyarakat urban untuk menikmati transportasi publik yang terjangkau sekaligus nyaman.






