Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) MPR RI sekaligus Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, memproyeksikan Indonesia akan menghadapi tekanan ganda pada sektor lingkungan dan pangan di tahun 2026. Tekanan ini, menurut Johan, bukan sekadar ancaman ekologis, melainkan berpotensi memicu krisis sosial dan ekonomi jika tidak diantisipasi secara serius oleh negara.
Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (31/12), Johan mengingatkan bahwa Indonesia memiliki formula kearifan ekologis yang kuat sejak lama. Ia mencontohkan ungkapan masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat: “Lamen balong ai kayu pang bao, mole pade antap, telas kebo jaran”, yang berarti jika hutan dan hulu daerah aliran sungai terjaga, maka padi dan palawija akan berlimpah, dan ternak pun berkembang dengan baik.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Ungkapan ini bukan sekadar pepatah budaya, tetapi refleksi dari hukum ekologis yang universal. Pangan tidak pernah lahir dari ekosistem yang rusak,” kata Johan.
Lingkungan Terdegradasi, Pangan Terancam
Johan menyoroti berbagai bencana ekologis yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi rapuhnya daya dukung lingkungan Indonesia. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan yang semakin sering terjadi berdampak langsung pada produksi pangan.
Ia memberikan contoh kondisi di sejumlah daerah di Sumatera, di mana banjir dan longsor berulang kali merusak lahan pertanian serta memutus distribusi pangan. Di Sumatera Barat, kerusakan daerah aliran sungai menunjukkan tata kelola lingkungan yang rapuh. Sementara di Aceh, bencana hidrometeorologi kembali menegaskan bahwa kekayaan sumber daya alam tidak otomatis menjamin ketahanan pangan jika tidak dikelola secara berkelanjutan.
“Ketika bencana ekologis terjadi serentak di banyak wilayah, krisis pangan tidak lagi bersifat lokal, tetapi berpotensi menjadi krisis nasional,” ujar Johan.
Risiko serupa, lanjutnya, juga membayangi wilayah lain di Indonesia. Di Jawa, tekanan datang dari alih fungsi lahan, kepadatan penduduk, dan degradasi daerah resapan air. Deforestasi dan kebakaran lahan di Kalimantan mengancam keberlanjutan pertanian dan perikanan. Sementara itu, pembangunan di Papua yang tidak sensitif terhadap ekosistem berisiko merusak salah satu benteng ekologis terakhir Indonesia.
Bali dan kawasan Nusa Tenggara juga tidak luput dari ancaman. Tekanan pariwisata, kekeringan berkepanjangan, serta kerusakan daerah aliran sungai membuat wilayah ini rentan terhadap krisis pangan dan air. Padahal, kawasan tersebut selama ini merupakan penyangga pangan penting bagi wilayah sekitarnya.
Ketahanan Pangan dan Tantangan Tata Kelola
Johan menilai, selama ini ketahanan pangan seringkali dimaknai sebatas ketersediaan stok nasional. Padahal, di tingkat akar rumput, petani dan nelayan justru menghadapi biaya produksi yang tinggi, ketidakpastian iklim, serta fluktuasi harga yang merugikan.
“Ketika harga pangan naik, petani tidak selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat berpenghasilan rendah justru paling terdampak,” ujarnya.






