MATARAM – Perayaan libur Natal dan Tahun Baru selalu diwarnai dua dinamika yang kontras. Di satu sisi, masyarakat menikmati euforia liburan dan mobilitas yang meningkat. Namun di sisi lain, aparat dan pemerintah daerah dihadapkan pada kewaspadaan tinggi terhadap potensi risiko bencana.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), periode akhir tahun 2025 ini bukan hanya tentang geliat pariwisata dan pergerakan penduduk. Lebih dari itu, ini adalah ujian bagi kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi fenomena alam yang tak terduga. Musim hujan 2025–2026 yang bertepatan dengan puncak liburan, membawa serta peningkatan curah hujan, angin kencang, gelombang tinggi, serta potensi bencana hidrometeorologi yang mengancam dari wilayah hulu hingga pesisir.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Kesiapsiagaan Mendesak di Tengah Kerentanan Geografis
Kesiapsiagaan ini bukan sekadar retorika tahunan, melainkan kebutuhan mendesak yang menyangkut keselamatan warga dan wisatawan. NTB, dengan kondisi geografisnya yang rentan, meliputi pegunungan, daerah aliran sungai, kawasan pesisir, dan zona pariwisata padat pengunjung, menghadapi risiko bencana yang semakin kompleks.
Sebagai gambaran, banjir yang melanda Kota Mataram pada Minggu, 6 Juli 2025, mengakibatkan 7.676 rumah terendam dan memaksa 7.676 kepala keluarga atau sekitar 30.681 jiwa mengungsi. Tragedi tersebut juga menelan satu korban jiwa akibat tersengat listrik di Ampenan. Insiden ini menunjukkan betapa cepatnya dampak bencana dapat melumpuhkan aktivitas dan mengancam nyawa.
Periode libur panjang semakin memperbesar tantangan ini, mengingat lonjakan populasi di titik-titik tertentu dapat terjadi drastis dalam hitungan hari, meningkatkan kerentanan wilayah.
Pergeseran Pola Bencana dan Faktor Ekologis
Salah satu isu krusial dalam kebencanaan di NTB saat libur akhir tahun adalah meningkatnya risiko cuaca ekstrem dengan pola yang semakin sulit diprediksi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, kombinasi aktifnya fenomena atmosfer seperti Madden-Julian Oscillation, gelombang Kelvin, dan sirkulasi siklonik di selatan Indonesia, berkontribusi pada intensitas hujan lebat dan angin kencang.
Pola bencana juga tidak lagi mengikuti skenario lama. Fenomena longsor, yang sebelumnya identik dengan wilayah utara Lombok, kini mulai bergeser ke wilayah selatan akibat masifnya alih fungsi lahan. Demikian pula banjir, tidak hanya terjadi di kawasan hulu, tetapi juga merambah wilayah hilir seperti Kota Mataram yang rentan terhadap limpasan air sungai dan banjir rob.
Kondisi ini mengindikasikan adanya pergeseran risiko dari bencana alam murni menjadi bencana ekologis. Permasalahan seperti sampah yang menyumbat drainase, penebangan pohon di kawasan rawan, serta pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan, secara signifikan memperbesar dampak cuaca ekstrem. Ketika hujan deras mengguyur, air tidak lagi memiliki ruang untuk meresap ke dalam tanah, melainkan mencari jalan tercepat menuju permukiman warga.
Dampak ini semakin berlipat ganda selama libur panjang. Saat pantai, desa wisata, dan jalur pendakian dipenuhi wisatawan, kapasitas lingkungan diuji secara bersamaan dengan peningkatan tekanan cuaca. Oleh karena itu, kesiapsiagaan yang komprehensif dan berkelanjutan menjadi kunci untuk mengurangi dampak yang mungkin terjadi.






