Jakarta – Amazon berhasil mengungkap adanya penyusup dari Korea Utara yang menyamar sebagai administrator sistem. Penyamaran ini terkuak berkat adanya jeda atau lag selama 110 milidetik pada data keystroke, jauh berbeda dari waktu normal 10 milidetik untuk pekerja jarak jauh yang berbasis di Amerika Serikat.
Kepala Keamanan Amazon, Stephen Schmidt, memuji pendekatan proaktif perusahaannya dalam memburu para penipu. Schmidt mengungkapkan bahwa Amazon telah menggagalkan lebih dari 1.800 upaya infiltrasi dari Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) sejak April 2024. Upaya-upaya ini bertujuan untuk mengumpulkan mata uang asing bagi DPRK, dan terkadang melibatkan spionase atau sabotase.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Jika kami tidak mencari pekerja DPRK, kami tidak akan menemukan mereka,” ungkap Schmidt, seperti dikutip dari Toms Hardware pada Sabtu (20/12/2025).
Menurut Schmidt, tingkat upaya infiltrasi ini terus meningkat, dengan Amazon memperkirakan peningkatan 27% secara kuartalan dalam jumlah warga Korea Utara yang mencoba masuk ke perusahaan tersebut.
Insiden yang memicu deteksi ini terjadi awal tahun ini, ketika monitor laptop Amazon milik seorang sysadmin baru memperingatkan personel keamanan tentang perilaku yang tidak biasa. Para ahli keamanan Amazon kemudian meneliti lebih lanjut ‘pekerja jarak jauh AS’ yang ditandai tersebut dan menemukan bahwa laptop mereka dikendalikan dari jarak jauh. Hal inilah yang menyebabkan jeda input keystroke tambahan.
Terungkap bahwa Korea Utara memiliki akses ke laptop Amazon yang berlokasi di Arizona. Seorang perempuan yang terbukti memfasilitasi penipuan ini telah dijatuhi hukuman beberapa tahun penjara pada awal tahun ini.
Selain gejala jaringan komputer yang mencurigakan, penggunaan idiom Amerika dan artikel berbahasa Inggris yang canggung juga menjadi petunjuk penting saat berkomunikasi dengan para penipu tersebut. Masalah infiltrasi oleh warga Korea Utara ke perusahaan-perusahaan AS untuk keuntungan dan kejahatan ini juga diklaim dilakukan oleh negara-negara lain. Infiltrasi dari negara-negara yang menjadi rival berat AS seperti Iran, Rusia, dan China, kemungkinan besar juga terus berlanjut.






