Advokat Windu Wijaya mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan karena Windu menilai pasal dalam UU tersebut membatasi hak permohonan grasi bagi terpidana.
Sidang perdana permohonan bernomor 252/PUU-XXIII/2025 ini digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu, 17 Desember 2025, dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
Pembatasan Hak Grasi Dinilai Bertentangan Konstitusi
Pemohon secara spesifik mempersoalkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Grasi. Pasal tersebut membatasi permohonan grasi hanya bagi terpidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 2 tahun.
Windu Wijaya berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Grasi telah secara jelas memberikan hak kepada setiap terpidana untuk mengajukan grasi kepada Presiden terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, pembatasan dalam ayat (2) dinilai telah mengubah esensi hak grasi yang seharusnya melekat pada setiap terpidana.
Menurutnya, ketentuan pembatasan tersebut bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal konstitusi itu menyatakan Presiden memberi grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, tanpa memberikan ruang pembatasan berdasarkan jenis maupun lamanya pidana.
Windu menegaskan, “Pembatasan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Grasi bertentangan dengan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Presiden berwenang memberi grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Ia melanjutkan, “Konstitusi memberikan ketentuan ini secara final, lengkap, dan tanpa syarat, serta tidak memberikan ruang bagi pembatasan tambahan berdasarkan jenis atau lamanya pidana. Dengan kata lain, hak mengajukan grasi adalah hak untuk semua terpidana.”
Kewenangan Presiden dan Akses Bantuan Hukum
Selain itu, Windu juga menilai ketentuan yang digugat telah mengurangi kewenangan Presiden sebagai pemegang hak prerogatif grasi. Pembatasan tersebut, menurutnya, membuat Presiden tidak lagi memiliki kewenangan penuh untuk mempertimbangkan seluruh permohonan grasi.
Pembatasan ini juga menutup akses bagi terpidana dengan pidana di bawah 2 tahun penjara untuk mengajukan grasi. Windu menyatakan hal ini menghambat dirinya dalam menjalankan fungsi profesional secara optimal dalam memberikan bantuan hukum kepada klien.
Dalam petitumnya, Windu Wijaya memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk, “Menyatakan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.”






